Negara Indonesia dibangun atas
dasar semangat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, Mukadimmah
Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang merdeka dan anti terhadap kolonialisme dan penjajahan. Semangat dan
cita-cita luhur tersebutlah yang kemudian menghantarkan bangsa kita untuk meraih
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Penjajahan meninggalkan luka yang teramat
dalam di hati sanubari bangsa Indonesia.
Penjajahan membuat bangsa kita mengalami diskriminasi diberbagai bidang
kehidupan. Di bidang ekonomi jelas bahwa ruang gerak kaum pribumi amat sangat
dibatasi. Bangsa Indonesia
hanya dijadikan objek sekaligus penonton atas eksploitasi segenap sumber daya
alam yang kita miliki. Di bidang politik demikian pula halnya, kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul apalagi mendirikan partai politik pada masa itu harus
dilakukan ekstra hati-hati bahkan terkesan mustahil karena pemerintah kolonial
dengan segenap otoritas yang dimilikinya menganggap bahwa hal tersebut justru
merupakan bahaya laten yang patut diwaspadai dan dapat mengancam eksistensi
mereka di bumi pertiwi. Di bidang pendidikan kita juga mengalami diskriminasi, dimana
tidak semua rakyat di masa penjajahan mendapat akses pendidikan yang memadai
kalau mereka bukan keturunan bangsawan atau priyayi. Eksklusifitas Pendidikan
pada masa itu mengakibatkan sangat sedikit rakyat Indonesia yang bisa menikmati
bangku pendidikan.
Segala bentuk penindasan dan
diskiriminasi tersebut kemudian melahirkan para pejuang dari kalangan
terpelajar yang merasa terpanggil atas
nasib bangsanya yang dari hari-kehari semakin terperosok kejurang penindasan
dan kebodohan. Sejarah juga mencatat, bahwa para pejuang tersebut dengan
segenap daya dan kemampuan yang mereka miliki, terus berjuang atas dasar komitmen
yang kuat agar bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Banyak
dari mereka harus masuk penjara demi perjuangan yang mereka lakukan. Banyak
pula yang rela mati demi keyakinan dan kemerdekaan negeri ini. Satu hal yang
patut dicamkan dilubuk sanubari bangsa Indonesia adalah bahwa perjuangan yang
dilakukan para pendahulu kita bukanlah perjuangan yang sia-sia, karena setiap
langkah, tetes darah dan perjuangan yang mereka lakukan, terukir dalam tinta emas sejarah perjuangan dan
pergerakan Indonesia.
Kilas balik sejarah perjuangan
dan cita-cita luhur diatas tanpa sadar membuat saya merenung dan bertanya dalam
hati, kenapa menjelang 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tidak banyak
perubahan yang berarti dan dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Kontemplasi perenungan itu
kemudian menghantarkan saya pada dua pertanyaan besar yaitu :
Apakah para penyelenggara negara
sudah kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan ? atau mungkin ada diantara para
penyelenggara negara yang belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan ?
Apabila penyelenggara negara yang
mendapat mandat dari segenap rakyat kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan berarti
selama hampir 67 tahun yang kita jalani adalah sebuah ritualitas peringatan
hari kemerdekaan dan cita-cita luhur kemerdekaan seperti membebaskan rakyat
dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan belum terwujud karena para
penyelenggara negara (penguasa) dengan kekuasaan yang mereka miliki justru disibukkan
dengan cita-cita mereka sendiri yaitu mempertahankan kekuasaan. Kalau ini
terjadi, sampai kapanpun cita-cita tetaplah menjadi sebuah cita-cita. Dan
sebuah cita-cita hanya akan terwujud apabila ada kesungguhan dan komitmen untuk
membebaskan dan memerdekakan segenap rakyat
dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.
Apabila ada diantara para
penyelenggara negara belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan, berarti
kemerdekaan bagi para penyelenggara negara tersebut merupakan retorika belaka.
Bukan mustahil telah terjadi distorsi makna kemerdekaan, kemerdekaan yang
secara harafiah berarti terbebas dari belenggu penjajahan, penindasan,
kemiskinan, dan kebodohan serta
berorientasi kepada rakyat berubah makna menjadi kemerdekaan sang penguasa
untuk membebaskan diri mereka dan keluarga mereka dari kemiskinan, sehingga terjadi
penumpukkan kekayaan dari sumber-sumber yang tidak jelas (Korupsi Kolusi
Nepotisme), kemerdekaan bagi para penguasa dapat pula berarti terbebas dari
belenggu kebodohan, namun ironisnya cara mereka membebaskan diri dari belenggu
kebodohan bukanlah dengan cara menempuh pendidikan formal sesuai prosedur yang
berlaku, tetapi justru mengambil jalan pintas dengan membeli gelar dan ijazah
palsu.Begitulah potret bangsa kita, kita nampaknya harus lebih banyak
bercermin, melakukan instrospeksi, apakah kita patut dan merasa bangga sebagai
bangsa (Nation).
Kemerdekaan akan sangat bermakna
ketika kita terbebas dari belenggu penindasan, apabila dianalogikan, sama
halnya ketika kita dahaga, kita tidak akan pernah memahami makna dahaga apabila
kita tidak pernah memahami rasa haus.
Menjelang Ulang Tahun yang ke 67
Republik yang kita cinta ini, kemerdekaan harusnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah
ritual yang setiap tahun harus diperingati oleh bangsa Indonesia, karena kita
telah berhasil merebut dan memperjuangkan kemerdekaan, tetapi lebih dari itu
kemerdekaan harus dikembalikan pada cita-citanya semula, dimana sebagai bangsa,
kita tidak ingin lagi melihat rakyat mengalami ketertindasan, penggusuran,
kebodohan, kemiskinan dan kehilangan kemerdekaan dinegeri sendiri.
Banyak hal yang seharusnya bisa
dilakukan, untuk pendidikan misalnya, pemerintah sebagai regulator harusnya dapat
melakukan proteksi terhadap dunia pendidikan di Indonesia, apabila pemerintah
belum mampu membebaskan biaya pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan yang
ada, minimal pemerintah membuat ambang batas maksimum pungutan biaya pendidikan
di luar SPP dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, sehingga tidak ada lagi
sekolah atau Perguruan Tinggi yang menentukan tarif atau biaya seenaknya
sendiri karena ada peraturan yang membatasi. Selain itu standarisasi biaya
pendidikan menghindarkan praktek kolutif antara orang tua dan oknum guru. Mahalnya
biaya pendidikan di Indonesia
merupakan momok tersendiri bagi kebanyakan orang tua. Pendidikan di Indonesia sudah seperti mesin
uang, setiap tahun ajaran baru banyak orang tua murid yang kehidupannya
pas-pasan berteriak mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan dari semua jenjang
pendidikan yang tersedia. Ironis memang, disatu sisi, pemerintah dengan program
wajib belajar sembilan tahun berusaha memotivasi orang tua menyekolahkan
anaknya minimal sampai jenjang SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) tetapi
disisi lain beban biaya pendidikan tetap menjadi beban yang harus ditanggung para
orang tua.
Pendidikan di Indonesia dan
Industrialisasi yang berlangsung di dalamnya membuat banyak pemerhati dan
sebagian praktisi dunia pendidikan prihatin. Harusnya Political Will pemerintah bertumpu pada semangat mulia bahwa
pendidikan bukan bisnis ekonomi, sehingga rakyat terlindungi dan memiliki akses
yang luas terhadap dunia pendidikan dari berbagai jenjang yang ada.
Kompetensi bisnis menjadi
fenomena yang menarik, karena apabila kompetensi bisnis mendominasi dunia
pendidikan maka yang terjadi adalah swastanisasi dan pada akhirnya dunia
pendidikan terjerumus pada derap langkah industrialisasi. Harus dipahami bahwa
prinsip industrialisasi secara umum adalah menerapkan penggunaan rasio dan
teknologi dalam berproduksi dalam rangka meningkatkan produktivitas, kualitas,
kuantitas dan pengejaran terhadap profit setinggi-tingginya.
Seorang sosiolog legendaris
Jerman, Max Weber menegaskan bahwa
industrialisasi yang menerapkan prinsip-prinsip rasionalisasi dan teknologisasi
di berbagai bidang kehidupan telah menghasilkan fenomena “disenchantment of the world”, yaitu suatu proses memudarnya pesona
dunia karena segala hal yang ada di bumi dapat dikalkulasi secara rasional.
Akibat yang timbul dari rasionalisasi adalah terjadinya penurunan kualitas
kehidupan manusia atau dehumanisasi karena segala hal yang sebelumnya subjektif
diubah menjadi objektif, yang kualitatif menjadi kuantitatif.
Konsepsi Weber di atas mengajarkan kepada kita bahwa rasionalisasi
mengakibatkan kita kehilangan sikap humanis. Rasionalisasi dunia pendidikan
mengkibatkan pemerintah tidak lagi bisa bersikap humanis terhadap dunia
pendidikan, banyak anggaran taktis strategis dikurangi dengan alasan efisiensi,
pemerintah nampaknya lebih tertarik melaksanakan megaproyek yang menghabiskan
anggaran tidak sedikit ketimbang memperhatikan dunia pendidikan kita yang
“hidup segan mati tak mau”, anggaran pendidikan dilihat sebagai beban dan melupakan
bahwa para pendiri negara ini dulu memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan
kehidupan bangsanya.
Rasionalisasi juga melahirkan
alasan bahwa liberalisasi ekonomi dan Anggaran Belanja Negara kita yang selalu
difisit dituding ikut memberikan kontribusi terhadap pengurangan anggaran di
bidang pendidikan. Padahal sebagaimana kita ketahui kebocoran Anggaran Belanja
Negara sebesar 30% diduga diakibatkan karena korupsi. Belum lagi kebocoran
akibat in efisiensi diberbagai bidang atau proyek yang dilaksanakan pemerintah.
Karena itulah kemudian negara tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya untuk
menyantuni dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang, akibatknya
dari tahun ketahun dan setiap tahun ajaran baru, para orang tua murid kembali
harus berpikir dan berupaya keras untuk bisa menyekolahkan putra-putrinya dan
memerdekakan mereka dari belenggu kebodohan. Padahal sebagaimana kita ketahui
dan maklumi bersama, dunia pendidikan di Indonesia cenderung cheerful
robots (meminjam istilah sosiolog C.
Wright Mills) artinya dunia pendidikan di Indonesia hanya mampu menciptakan insan akademis yang
pintar menjalankan instruksi teknis (berkaitan dengan pertanyaan how) dan bukan berpikir kritis dan
reflektif (berurusan dengan pertanyaan why).
Hal ini setidaknya membuktikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami
dehumanisasi.
Akhirnya dihari kemerdekaan
Republik Indonesia yang ke 67 sebagai rakyat saya harus kembali menggantungkan
harapan semoga para penyelenggara negara dengan tulus dan sungguh-sungguh mampu
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan memberikan kemerdekaan yang
hakiki kepada segenap rakyat Indonesia yang sebagian besar masih harus
membebaskan dirinya dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar