Sebagai kota dengan jumlah penduduk hamper 700.000
jiwa, wajar jika samarinda dalam perkembangannya menjadi salah satu kota dengan
tingkat kepadatan kendaraan yang cukup tinggi, saat ini saja setiap hari
pertumbuhan kendaraan roda dua maupun roda empat berkisar pada angka 133 unit.
Angka yang cukup fantastis mengingat ruas jalan di kota Samarinda pendek dan
lebar jalannya kurang memadai untuk menampung kendaraan dalam jumlah banyak.
Membangun jalan alternative atau jembatan layang mungkin salah satu solusi yang
perlu dipikirkan kedepan, namun semua itu tergantung sejauh mana pemerintah
Kota Samarinda mendapatkan porsi anggaran yang memadai untuk membenahi kota
yang kian hari kian macet dengan lautan kenderaan bermotor baik roda dua maupun
roda empat. Kondisi ini diperburuk dengan bebasnya kendaraan kontainer dan truk
besar berkendara di jalan-jalan utama terutama pada jam-jam sibuk.
Berdasarkan data pihak Satlantas Poltabes Samarinda,
jika kondisi tersebut tidak segera diatasi baik dengan cara menekan pertambahan
kendaraan maupun memperpanjang dan memperluas jalan raya maka dapat dipastikan
Samarinda dalam dua tiga tahun kedepan kemacetannya akan semakin parah.
Berdasarkan data statistik laju pertumbuhan kendaraan baik roda dua maupun roda empat di kota Samarinda mencapai 3.500 hingga 4.000 unit per bulan dan itu belum termasuk kendaraan mutasi atau yang mampir di Samarinda.
Secara sosiologis kebutuhan sosial (social needs) perlu diakomodasi bukan hanya sekedar mewujudkan dan merealisasikan perluasan jalan raya, pengaturan kendaraan berat dan truk kontainer, pengalihan jalur atau membangun jalur alternatif, tetapi juga aspek kenyamanan dalam berkendara, sebab sebagaimana kita ketahui salah satu sebab kemacetan adalah kondisi jalan yang buruk dan berlubang, sehingga hal ini dapat menghambat arus kendaraan bermotor.
Berdasarkan data statistik laju pertumbuhan kendaraan baik roda dua maupun roda empat di kota Samarinda mencapai 3.500 hingga 4.000 unit per bulan dan itu belum termasuk kendaraan mutasi atau yang mampir di Samarinda.
Secara sosiologis kebutuhan sosial (social needs) perlu diakomodasi bukan hanya sekedar mewujudkan dan merealisasikan perluasan jalan raya, pengaturan kendaraan berat dan truk kontainer, pengalihan jalur atau membangun jalur alternatif, tetapi juga aspek kenyamanan dalam berkendara, sebab sebagaimana kita ketahui salah satu sebab kemacetan adalah kondisi jalan yang buruk dan berlubang, sehingga hal ini dapat menghambat arus kendaraan bermotor.
Infrastruktur perkotaan yang minim dan masih sangat
terbatas ikut memberi andil selain manajemen parkir yang semrawut. Jika kita
perhatikan penyempitan badan jalan juga disebabkan karena kendaraan yang parkir
tidak teratur dan dikelola oleh pengelola parkir partikelir yang sudah pasti
tidak memberikan kontribusi apapun pada negara (daerah). Sementara petugas parkir resmi
setali tiga uang, mereka cenderung tidak jujur dan tidak menyerahkan karcis
retribusi parkir kepada pengendara, sementara pengendara juga dengan terpaksa
menerima kondisi tersebut. Padahal belum tentu pendapatan parkir resmi yang
diperoleh disetorkan pada negara (daerah), sebab oknum pemungut jasa parkir
kerap bermain mata dengan petugas parkir sehingga banyak dana yang mengalir
kekantong-kantong pribadi mereka. Menggaji dan member seragam ternyata bukan
solusi efektif, aspek legalitas petugas parkir tidak dibarengi dengan
intensitas pengawasan dari dinas terkait.
Jika dalam sehari pengguna kendaraan roda dua mesti
parkir di lima tempat parkir resmi berbeda, maka kita sudah bisa mengkalkulasi
bahwa uang yang dikeluarkan kurang lebih Rp. 1.000,- x 5 = Rp. 5.000,-.
Seandainya dalam sehari ada 2.000 kendaraan roda dua parkir di lima tempat
berbeda, maka 2.000 kendaraan x Rp. 5.000,- = Rp. 10.000.000,- dan jika
seandainya ditambah dengan kendaraan roda 4 yang parkir di dua tempat berbeda,
maka Rp.2.000,- x 2 x 1.000 kendaraan = Rp. 4.000.000,-. Berarti dalam sehari
total bea parkir yang mesti dikeluarkan adalah Rp. 14.000.000,-. Jika dikalikan
30 hari maka diperoleh total angka sebesar Rp. 420.000.000,- dan itu berarti dalam
setahun diperoleh pendapatan sebesar Rp Rp. 420.000.000,- x 12 bulan = Rp.
5.040.000.000,-.
Problem utama terkait manajemen parkir adalah banyak
tempat parkir yang dikuasai dan dikelola oleh oknum atau organisasi yang
keberadaannya dilegalkan oleh oknum pejabat publik yang menangani persoalan
tersebut. Sebab hal ini terkait dengan konspirasi antara oknum tersebut dan
penguasa wilayah yang wajib setor kepadanya dan bukan kepada negara.
Kalau saja dana tersebut dikelola dan diperuntukkan
untuk pembenahan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, mungkin warga kota
Samarinda dapat sedikit tersenyum, untuk itu mungkin dibutuhkan ketegasan dan
komitmen untuk menata kota ini kearah yang lebih baik.
Pada akhirnya, paling tidak sekalipun kita mengalami
kemacetan, jalan-jalan dilalui disepanjang kota Samarinda adalah jalan yang
mulus dan bebas lobang apalagi lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar