Selasa, 24 Juli 2012

The Politics is Letoy Brur !

Politik acapkali bersentuhan dengan kepentingan, sebab dalam politik ada pakem yang menyatakan bahwa "tidak ada kawan sejati, yang   ada hanya kepentingan". Saat membicarakan politik tidak jarang kita terseret dalam dimensi dimana akal sehat dan nurani kerap diabaikan demi kekuasaan. Sahabat yang bertahun-tahun membina hubungan dengan kita ketika berada di panggung politik dan kemudian memegang posisi strategis yang diidamkan banyak orang dapat saja menjadi orang yang sama sekali tidak mengenal kita, atau hanya menjadikan kita objek kepentingan politiknya.
Politik adalah topik menarik dan mampu merubah sejarah hidup seseorang ketika dia menjadikan politik sebagai media untuk merepresentasikan dirinya. Siapa saja dapat menjadi aktor politik tanpa memandang latar belakang dirinya. Politics  is the media to make the change of social status in society Pendek kata "politik" adalah "kekuasaan" dan kekuasaan berarti "otoritas", "kewenangan", "kesempatan", "kenyamanan", "fasilitas" dan "peluang" untuk menjadi kelompok masyarakat high class
Aktor politik di pentas politik tak ubahnya seperti badut sirkus, jumpalitan dan hanya menjadi lelucon atau bahan tertawaan masyarakat jika perannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Politikus selalu merasa dirinya penting dan menjadi masyarakat kelas satu dengan seabrek fasilitas yang melekat dengan status sosialnya. Politisi baik di pusat maupun di daerah tingkah polahnya "sama saja", sok jaim, merasa paling dibutuhkan, minta dilayani, minta prioritas, lebih mengedepankan hak dari pada kewajiban, sibuk berebut jabatan strategis, pelesiran ke luar negeri dengan fasilitas negara dan uang rakyat, sibuk berbagi komisi, melakukan tindak pidana korupsi dan banyak praktek lainnya yang membuat masyarakat semakin antipati dengan keberadaan "politisi katrok" semacam ini.
Ketika kita bertanya adakah politisi yang baik, jujur, merakyat, lebih mengedepankan urusan masyarakat ketimbang urusan pribadi dan partainya, jawabannya "ada" tapi jumlah mereka tidak banyak dan populasi mereka tidak dapat mewarnai institusi dimana mereka mengabdi.
"Indonesian will experience a crisis of national leadership if it is still sticking with the pattern and recruitment system as it is today". Jika demikian halnya, maka krisis kepemimpinan nasional dapat saja terjadi.  Ketika kita berkaca dengan sikap dan tingkah polah politisi kita maka pendapat tersebut patut dijadikan parameter untuk mempersiapkan kader-kader pemimpin bangsa terbaik dan punya komitmen yang jelas terhadap masa depan Republik ini. 

Sabtu, 30 Juni 2012

Dilema Pendidikan Nasional

Beberapa orang tua di daerah sangat bangga karena anaknya lulus dengan nilai ujian nasional yang cukup membanggakan, bagi mereka nilai ujian nasional bagus sama dengan keberhasilan untuk memutuskan dan memilih sekolah favorit dengan akreditasi A. Harapan setiap orang tua mungkin sama ketika terkait dengan keputusan untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak tercinta. Pola relasi antara orang tua, murid, guru, sistem pendidikan di negeri ini ternyata membuka dimensi baru dan sebuah realitas sosial dimana standarisasi yang begitu di agung-agungkan oleh Kementrian Pendidikan tidak sebangun dengan kondisi daerah, kualitas guru, kualitas anak didik, fasilitas belajar mengajar, diseminasi informasi dan banyak hal lainnya termasuk keterisolasian sebuah wilayah. Prestasi diukur dengan kaca mata kuda, standarisasi diciptakan tanpa mempertimbangkan ketertinggalan daerah di bidang pendidikan itu sendiri. Sekolah di split menjadi sekolah unggul dengan merk "RSBI" dan ada pula sekolah non RSBI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi sekolah dengan merk "RSBI" hal ini menjadi wajar karena pola bilingual yang diterapkan sekolah RSBI tersebut. Di daerah lain terutama Jawa kompetisi antar siswa berlangsung sengit, Nilai Ujian Nasional siswa di jawa membuat kita terbelalak, sebab hampir sebagian besar dari mereka mampu mencapai nilai sempurna. Persaingan yang begitu ketat, fasilitas belajar yang memadai, guru yang mumpuni dalam mengajar dan banyak faktor penunjang lainnya membuat siswa di jawa relatif lebih unggul atau lebih berprestasi dari siswa di daerah, kalaupun ada siswa di daerah yang mampu menggetarkan jagad pendidikan nasional, prosentasenya  relatif kecil, sementara yang lain sibuk berkutat dengan nilai yang masih di bawah standard nasional. Orang tua berharap anaknya diterima disekolah unggulan, sementara para murid menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem yang belum teruji dan terbukti, sebab hasil Ujian Nasional 2012 menunjukkan bahwa peroleh Nilai Ujian Nasional tertinggi justru diperoleh sekolah non RSBI. Sistem pendidikan di negeri ini hanya menjadi alat pemuas nafsu segelintir elit yang merasa yakin bahwa jika sistem tersebut diterapkan pasti akan lebih baik. Biaya sekolah makin mahal dan membuat orang tua meringis dan berusaha mengais duit agar sang anak bersekolah sementara negara sibuk persoalan yang tidak penting, politisinya sibuk memikirkan isi perutnya sendiri. Bangsa ini adalah bangsa yang perlu belajar banyak agar bisa mencapai apa yang pernah dicita-citakan pendiri negera ini dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendek kata negara ini belum mampu memberikan jaminan pemerataan pendidikan (terutama dalam hal kualitas pembelajaran), negara juga gagal memberikan pendidikan murah bahkan kalau perlu gratis bagi rakyatnya. Bagi PNS gaji 13 menjadi obat pelipur lara, karena diberikan tepat tahun ajaran baru, tapi bagi mereka yang non PNS terpaksa harus mencari pinjaman agar sang anak dapat bersekolah. Entah sampai kapan kondisi ini terus berlangsung............????

Rabu, 13 Juni 2012

Kemacetan, Akar permasalahan dan Solusinya



Sebagai kota dengan jumlah penduduk hamper 700.000 jiwa, wajar jika samarinda dalam perkembangannya menjadi salah satu kota dengan tingkat kepadatan kendaraan yang cukup tinggi, saat ini saja setiap hari pertumbuhan kendaraan roda dua maupun roda empat berkisar pada angka 133 unit. Angka yang cukup fantastis mengingat ruas jalan di kota Samarinda pendek dan lebar jalannya kurang memadai untuk menampung kendaraan dalam jumlah banyak. Membangun jalan alternative atau jembatan layang mungkin salah satu solusi yang perlu dipikirkan kedepan, namun semua itu tergantung sejauh mana pemerintah Kota Samarinda mendapatkan porsi anggaran yang memadai untuk membenahi kota yang kian hari kian macet dengan lautan kenderaan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Kondisi ini diperburuk dengan bebasnya kendaraan kontainer dan truk besar berkendara di jalan-jalan utama terutama pada jam-jam sibuk.
Berdasarkan data pihak Satlantas Poltabes Samarinda, jika kondisi tersebut tidak segera diatasi baik dengan cara menekan pertambahan kendaraan maupun memperpanjang dan memperluas jalan raya maka dapat dipastikan Samarinda dalam dua tiga tahun kedepan kemacetannya akan semakin parah.

Berdasarkan data statistik laju pertumbuhan kendaraan baik roda dua maupun roda empat di kota Samarinda mencapai 3.500 hingga 4.000 unit per bulan dan itu belum termasuk kendaraan mutasi atau yang mampir di Samarinda.

Secara sosiologis kebutuhan sosial  (social needs) perlu diakomodasi bukan hanya sekedar mewujudkan dan merealisasikan perluasan jalan raya, pengaturan kendaraan berat dan truk kontainer, pengalihan jalur atau membangun jalur alternatif, tetapi juga aspek kenyamanan dalam berkendara, sebab sebagaimana kita ketahui salah satu sebab kemacetan adalah kondisi jalan yang buruk dan berlubang, sehingga hal ini dapat menghambat arus kendaraan bermotor.
Infrastruktur perkotaan yang minim dan masih sangat terbatas ikut memberi andil selain manajemen parkir yang semrawut. Jika kita perhatikan penyempitan badan jalan juga disebabkan karena kendaraan yang parkir tidak teratur dan dikelola oleh pengelola parkir partikelir yang sudah pasti tidak memberikan kontribusi apapun pada negara  (daerah). Sementara petugas parkir resmi setali tiga uang, mereka cenderung tidak jujur dan tidak menyerahkan karcis retribusi parkir kepada pengendara, sementara pengendara juga dengan terpaksa menerima kondisi tersebut. Padahal belum tentu pendapatan parkir resmi yang diperoleh disetorkan pada negara (daerah), sebab oknum pemungut jasa parkir kerap bermain mata dengan petugas parkir sehingga banyak dana yang mengalir kekantong-kantong pribadi mereka. Menggaji dan member seragam ternyata bukan solusi efektif, aspek legalitas petugas parkir tidak dibarengi dengan intensitas pengawasan dari dinas terkait.

Jika dalam sehari pengguna kendaraan roda dua mesti parkir di lima tempat parkir resmi berbeda, maka kita sudah bisa mengkalkulasi bahwa uang yang dikeluarkan kurang lebih Rp. 1.000,- x 5 = Rp. 5.000,-. Seandainya dalam sehari ada 2.000 kendaraan roda dua parkir di lima tempat berbeda, maka 2.000 kendaraan x Rp. 5.000,- = Rp. 10.000.000,- dan jika seandainya ditambah dengan kendaraan roda 4 yang parkir di dua tempat berbeda, maka Rp.2.000,- x 2 x 1.000 kendaraan = Rp. 4.000.000,-. Berarti dalam sehari total bea parkir yang mesti dikeluarkan adalah Rp. 14.000.000,-. Jika dikalikan 30 hari maka diperoleh total angka sebesar Rp. 420.000.000,- dan itu berarti dalam setahun diperoleh pendapatan sebesar Rp Rp. 420.000.000,- x 12 bulan = Rp. 5.040.000.000,-.
Problem utama terkait manajemen parkir adalah banyak tempat parkir yang dikuasai dan dikelola oleh oknum atau organisasi yang keberadaannya dilegalkan oleh oknum pejabat publik yang menangani persoalan tersebut. Sebab hal ini terkait dengan konspirasi antara oknum tersebut dan penguasa wilayah yang wajib setor kepadanya dan bukan kepada negara.
Kalau saja dana tersebut dikelola dan diperuntukkan untuk pembenahan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, mungkin warga kota Samarinda dapat sedikit tersenyum, untuk itu mungkin dibutuhkan ketegasan dan komitmen untuk menata kota ini kearah yang lebih baik.
Pada akhirnya, paling tidak sekalipun kita mengalami kemacetan, jalan-jalan dilalui disepanjang kota Samarinda adalah jalan yang mulus dan bebas lobang apalagi lumpur.

Minggu, 10 Juni 2012

HARI KEMERDEKAAN DAN DEHUMANISASI DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA


Negara Indonesia dibangun atas dasar semangat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, Mukadimmah Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan anti terhadap kolonialisme dan penjajahan. Semangat dan cita-cita luhur tersebutlah yang kemudian menghantarkan bangsa kita untuk meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Penjajahan meninggalkan luka yang teramat dalam di hati sanubari bangsa Indonesia. Penjajahan membuat bangsa kita mengalami diskriminasi diberbagai bidang kehidupan. Di bidang ekonomi jelas bahwa ruang gerak kaum pribumi amat sangat dibatasi. Bangsa Indonesia hanya dijadikan objek sekaligus penonton atas eksploitasi segenap sumber daya alam yang kita miliki. Di bidang politik demikian pula halnya, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul apalagi mendirikan partai politik pada masa itu harus dilakukan ekstra hati-hati bahkan terkesan mustahil karena pemerintah kolonial dengan segenap otoritas yang dimilikinya menganggap bahwa hal tersebut justru merupakan bahaya laten yang patut diwaspadai dan dapat mengancam eksistensi mereka di bumi pertiwi. Di bidang pendidikan kita juga mengalami diskriminasi, dimana tidak semua rakyat di masa penjajahan mendapat akses pendidikan yang memadai kalau mereka bukan keturunan bangsawan atau priyayi. Eksklusifitas Pendidikan pada masa itu mengakibatkan sangat sedikit rakyat Indonesia yang bisa menikmati bangku pendidikan.
Segala bentuk penindasan dan diskiriminasi tersebut kemudian melahirkan para pejuang dari kalangan terpelajar yang merasa terpanggil  atas nasib bangsanya yang dari hari-kehari semakin terperosok kejurang penindasan dan kebodohan. Sejarah juga mencatat, bahwa para pejuang tersebut dengan segenap daya dan kemampuan yang mereka miliki, terus berjuang atas dasar komitmen yang kuat agar bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Banyak dari mereka harus masuk penjara demi perjuangan yang mereka lakukan. Banyak pula yang rela mati demi keyakinan dan kemerdekaan negeri ini. Satu hal yang patut dicamkan dilubuk sanubari bangsa Indonesia adalah bahwa perjuangan yang dilakukan para pendahulu kita bukanlah perjuangan yang sia-sia, karena setiap langkah, tetes darah dan perjuangan yang mereka lakukan, terukir  dalam tinta emas sejarah perjuangan dan pergerakan Indonesia.
Kilas balik sejarah perjuangan dan cita-cita luhur diatas tanpa sadar membuat saya merenung dan bertanya dalam hati, kenapa menjelang 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tidak banyak perubahan yang berarti dan dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia. 
Kontemplasi perenungan itu kemudian menghantarkan saya pada dua pertanyaan besar yaitu :
Apakah para penyelenggara negara sudah kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan ? atau mungkin ada diantara para penyelenggara negara yang belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan ?
Apabila penyelenggara negara yang mendapat mandat dari segenap rakyat kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan berarti selama hampir 67 tahun yang kita jalani adalah sebuah ritualitas peringatan hari kemerdekaan dan cita-cita luhur kemerdekaan seperti membebaskan rakyat dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan belum terwujud karena para penyelenggara negara (penguasa) dengan kekuasaan yang mereka miliki justru disibukkan dengan cita-cita mereka sendiri yaitu mempertahankan kekuasaan. Kalau ini terjadi, sampai kapanpun cita-cita tetaplah menjadi sebuah cita-cita. Dan sebuah cita-cita hanya akan terwujud apabila ada kesungguhan dan komitmen untuk membebaskan dan memerdekakan segenap rakyat  dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.
Apabila ada diantara para penyelenggara negara belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan, berarti kemerdekaan bagi para penyelenggara negara tersebut merupakan retorika belaka. Bukan mustahil telah terjadi distorsi makna kemerdekaan, kemerdekaan yang secara harafiah berarti terbebas dari belenggu penjajahan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan  serta berorientasi kepada rakyat berubah makna menjadi kemerdekaan sang penguasa untuk membebaskan diri mereka dan keluarga mereka dari kemiskinan, sehingga terjadi penumpukkan kekayaan dari sumber-sumber yang tidak jelas (Korupsi Kolusi Nepotisme), kemerdekaan bagi para penguasa dapat pula berarti terbebas dari belenggu kebodohan, namun ironisnya cara mereka membebaskan diri dari belenggu kebodohan bukanlah dengan cara menempuh pendidikan formal sesuai prosedur yang berlaku, tetapi justru mengambil jalan pintas dengan membeli gelar dan ijazah palsu.Begitulah potret bangsa kita, kita nampaknya harus lebih banyak bercermin, melakukan instrospeksi, apakah kita patut dan merasa bangga sebagai bangsa (Nation).
Kemerdekaan akan sangat bermakna ketika kita terbebas dari belenggu penindasan, apabila dianalogikan, sama halnya ketika kita dahaga, kita tidak akan pernah memahami makna dahaga apabila kita tidak pernah memahami rasa haus.
Menjelang Ulang Tahun yang ke 67 Republik yang kita cinta ini, kemerdekaan harusnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah ritual yang setiap tahun harus diperingati oleh bangsa Indonesia, karena kita telah berhasil merebut dan memperjuangkan kemerdekaan, tetapi lebih dari itu kemerdekaan harus dikembalikan pada cita-citanya semula, dimana sebagai bangsa, kita tidak ingin lagi melihat rakyat mengalami ketertindasan, penggusuran, kebodohan, kemiskinan dan kehilangan kemerdekaan dinegeri sendiri.
Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan, untuk pendidikan misalnya, pemerintah sebagai regulator harusnya dapat melakukan proteksi terhadap dunia pendidikan di Indonesia, apabila pemerintah belum mampu membebaskan biaya pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, minimal pemerintah membuat ambang batas maksimum pungutan biaya pendidikan di luar SPP dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, sehingga tidak ada lagi sekolah atau Perguruan Tinggi yang menentukan tarif atau biaya seenaknya sendiri karena ada peraturan yang membatasi. Selain itu standarisasi biaya pendidikan menghindarkan praktek kolutif antara orang tua dan oknum guru. Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia merupakan momok tersendiri bagi kebanyakan orang tua.  Pendidikan di Indonesia sudah seperti mesin uang, setiap tahun ajaran baru banyak orang tua murid yang kehidupannya pas-pasan berteriak mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan dari semua jenjang pendidikan yang tersedia. Ironis memang, disatu sisi, pemerintah dengan program wajib belajar sembilan tahun berusaha memotivasi orang tua menyekolahkan anaknya minimal sampai jenjang SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) tetapi disisi lain beban biaya pendidikan tetap menjadi beban yang harus ditanggung para orang tua.
Pendidikan di Indonesia dan Industrialisasi yang berlangsung di dalamnya membuat banyak pemerhati dan sebagian praktisi dunia pendidikan prihatin. Harusnya Political Will pemerintah bertumpu pada semangat mulia bahwa pendidikan bukan bisnis ekonomi, sehingga rakyat terlindungi dan memiliki akses yang luas terhadap dunia pendidikan dari berbagai jenjang yang ada.
Kompetensi bisnis menjadi fenomena yang menarik, karena apabila kompetensi bisnis mendominasi dunia pendidikan maka yang terjadi adalah swastanisasi dan pada akhirnya dunia pendidikan terjerumus pada derap langkah industrialisasi. Harus dipahami bahwa prinsip industrialisasi secara umum adalah menerapkan penggunaan rasio dan teknologi dalam berproduksi dalam rangka meningkatkan produktivitas, kualitas, kuantitas dan pengejaran terhadap profit setinggi-tingginya.
Seorang sosiolog legendaris Jerman, Max Weber menegaskan bahwa industrialisasi yang menerapkan prinsip-prinsip rasionalisasi dan teknologisasi di berbagai bidang kehidupan telah menghasilkan fenomena “disenchantment of the world”, yaitu suatu proses memudarnya pesona dunia karena segala hal yang ada di bumi dapat dikalkulasi secara rasional. Akibat yang timbul dari rasionalisasi adalah terjadinya penurunan kualitas kehidupan manusia atau dehumanisasi karena segala hal yang sebelumnya subjektif diubah menjadi objektif, yang kualitatif menjadi kuantitatif.
Konsepsi Weber di atas mengajarkan kepada kita bahwa rasionalisasi mengakibatkan kita kehilangan sikap humanis. Rasionalisasi dunia pendidikan mengkibatkan pemerintah tidak lagi bisa bersikap humanis terhadap dunia pendidikan, banyak anggaran taktis strategis dikurangi dengan alasan efisiensi, pemerintah nampaknya lebih tertarik melaksanakan megaproyek yang menghabiskan anggaran tidak sedikit ketimbang memperhatikan dunia pendidikan kita yang “hidup segan mati tak mau”, anggaran pendidikan dilihat sebagai beban dan melupakan bahwa para pendiri negara ini dulu memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.
Rasionalisasi juga melahirkan alasan bahwa liberalisasi ekonomi dan Anggaran Belanja Negara kita yang selalu difisit dituding ikut memberikan kontribusi terhadap pengurangan anggaran di bidang pendidikan. Padahal sebagaimana kita ketahui kebocoran Anggaran Belanja Negara sebesar 30% diduga diakibatkan karena korupsi. Belum lagi kebocoran akibat in efisiensi diberbagai bidang atau proyek yang dilaksanakan pemerintah. Karena itulah kemudian negara tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya untuk menyantuni dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang, akibatknya dari tahun ketahun dan setiap tahun ajaran baru, para orang tua murid kembali harus berpikir dan berupaya keras untuk bisa menyekolahkan putra-putrinya dan memerdekakan mereka dari belenggu kebodohan. Padahal sebagaimana kita ketahui dan maklumi bersama, dunia pendidikan di Indonesia cenderung  cheerful robots (meminjam istilah sosiolog C. Wright Mills) artinya dunia pendidikan di Indonesia  hanya mampu menciptakan insan akademis yang pintar menjalankan instruksi teknis (berkaitan dengan pertanyaan how) dan bukan berpikir kritis dan reflektif (berurusan dengan pertanyaan why). Hal ini setidaknya membuktikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami dehumanisasi.
Akhirnya dihari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 67 sebagai rakyat saya harus kembali menggantungkan harapan semoga para penyelenggara negara dengan tulus dan sungguh-sungguh mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan memberikan kemerdekaan yang hakiki kepada segenap rakyat Indonesia yang sebagian besar masih harus membebaskan dirinya dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.

KORUPSI "AS OLD AS THE ORGANIZATIONS OF POWERS"


Mahatma Gandhi seorang tokoh spiritual dan negarawan India pernah mengungkapkan bahwa “ Bumi cukup untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia ” Ungkapan Gandhi merupakan wujud keprihatinan  dia atas kebobrokan yang terjadi dinegaranya akibat korupsi.
Apabila pelacuran merupakan “the oldest profession”, maka penyalahgunaan kewenangan dan jabatan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan “ as old as the organization of powers “
Dalam konteks Indonesia apa yang dikemukakan di atas harusnya dapat dijadikan pelajaran dan membuat para penyelenggara negara bersikap lebih bijak dan berhati-hati dalam mengemban amanat yang telah diberikan jutaan rakyat Indonesia kepundak mereka.
Dalam penyelenggaraan negara, otoritas dan kekuasaan yang dimiliki anggota legislatif dan eksekutif kemudian menghadapkan pada dua pilihan yang secara substantif dapat dijadikan parameter moralitas mereka dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Apabila sifat rakus sebagaimana dikemukakan Gandhi mendominasi maka yang akan mereka lakukan adalah dengan kekuasaan dan jabatan yang mereka miliki mereka berupaya untuk memperkaya diri pribadi sekalipun itu harus mengambil hak orang lain atau mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Tetapi apabila sifat melayani lebih dominan maka dalam periode masa jabatan yang disandangnya yang dilakukan adalah berpikir, bertindak, berkorban, bersikap atas kepentingan rakyat banyak.
Dengan demikian, andai saja pendapatan Negara yang diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pinjaman luar negeri maupun dari hasil pajak tidak dikorup dikelola secara jujur dan bertanggung jawab serta dialokasikan untuk penyediaan fasilitas publik maka kondisi bangsa Indonesia harusnya menjadi lebih baik dari kondisi sekarang.
Jacob Van Klaveren dalam artikelnya “The Concept of Corruption“ mengungkapkan “orang yang korup akan menggunakan jabatannya untuk kepentingan bisnis dimana dia bisa memperoleh pendapatan sebanyak mungkin, lembaga tempat dia bekerja akan menjadi unit maksimisasi“ Konsepsi tersebut menunjukkan bahwa seorang koruptor akan selalu berupaya secara maksimal menggunakan jabatan dan kekuasaan yang dimiliknya untuk memperkaya diri pribadinya.
Kalau dulu seorang penyelenggara negara masih agak sungkan mempertontonkan kemewahan yang dimilikinya, sekarang paham materialisme justru menjadi bagian gaya hidup mereka. Akibatnya instant culture dan hedonism menjadi sesuatu yang mereka anggap lumrah.
Pendek kata korupsi di Indonesia telah memasuki tahap yang sangat kompleks dan melanda bukan hanya kalangan birokrat pemerintahan tetapi juga wakil rakyat yang duduk dilembaga legislatif. Korupsi sudah mensistem, mengakar bahkan sudah menjadi budaya. Bill Dalton dalam bukunya “Indonesia Hand Book” yang dilarang beredar di Indonesia mengatakan bahwa korupsi sudah merupakan cara hidup sehari-hari, hampir semua institusi, bahkan institusi yang bertugas menyelamatkan dan menghambat korupsi seperti BPK, Inspektorat Jendral (Irjen), Bawasprov dan Bawasda telah terkotori oleh praktek-praktek korupsi
Disinyalir 50% dari GNP (Gross National Product) tiap tahun lenyap akibat pungutan oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Kemudian sekitar 30 % dana pembangunan baik yang dibiayai oleh APBN maupun bantuan luar negeri sirna oleh kegiatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
Ketika otonomi daerah dicanangkan, masyarakat berharap bahwa pembangunan daerah dapat menjadi lebih pesat dan tingkat kesejahteraan mereka akan lebih meningkat, namun kenyataannya dibanyak daerah justru yang terjadi adalah otonomi korupsi yang luar biasa, dimana eksekutif dan legislatif di banyak daerah termasuk di salah satu Kabupaten di Kalimantan Timur, diduga bekerjasama melakukan mark up anggaran serta menyalahgunakan jabatan  untuk kepentingan pribadi atau golongan. Sehingga tidak heran baru beberapa tahun berjalan otonomi daerah sudah menuai kritik yang cukup tajam di masyarakat.
Otonomi daerah bagaimanapun harus terus dilaksanakan, walaupun sebenarnya ada beberapa catatan penting yang harus lebih diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah :
1.      Semangat untuk melaksanakan otonomi daerah dapat menjadi pemicu keberhasilan pembangunan di daerah, untuk itu para pejabat di daerah harus terhindar dari aktivitas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki selain itu mereka juga harus terhindar dari praktek-praktek yang tidak terpuji dan bernuansa KKN.
2.      Pembangunan harus menyentuh kepentingan substantif sebagian besar rakyat di daerah, pemerintah tidak boleh seenaknya mengatasnamakan rakyat apabila proyek yang dibangun tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat.
3.      Penetapan skala prioritas pembangunan di daerah harus memperhatikan azas keseimbangan antara pembangunan fisik dan non fisik.
4.      Di era otonomi daerah hal lain yang juga nampak adalah pembangunan atau penyediaan fasilitas bagi pejabat baik rumah jabatan, mobil dinas mewah atau pembangunan proyek multiyears justru menjadi lebih prioritas ketimbang penyediaan fasilitas publik. Ironis memang saat sang pejabat dengan gagahnya turun naik mobil mewah, masih banyak rakyat mengeluhkan jalan yang berdebu dan penuh lubang, begitu juga saat segelintir rakyat masih tidur beralaskan trotoar dan beratapkan langit sang pejabat seenaknya merehab, membongkar dan membangun rumah dinas dengan segenap fasilitasnya yang serba mewah. Ketika sebagian buruh berbulan-bulan tidak dibayar gajinya, anggota dewan malah sibuk mengkalkulasi berapa juta gaji yang layak buat mereka sebagai anggota dewan yang terhormat.
Itulah potret negeri ini, kesenjangan demi kesenjangan terus terjadi didepan mata tanpa kita dapat berbuat apa-apa.
Fenomena tersebut kemudian memberikan inspirasi bagi seorang Iwan Fals untuk menulis lagu yang berjudul “Bongkar” dimana sebagian lyrik lagu tersebut berbunyi sebagai berikut : “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperkuda jabatan. Sabar sabar sabar dan tunggu itu jawaban yang kami terima, ternyata kita harus kejalan robohkan setan yang berdiri mengangkang. Penindasan serta kesewenang-wenangan banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan, hentikan hoi hentikan, jangan diteruskan, kami muak dengan ketidak pastian dan keserakahan
Iwan Fals mungkin benar, rakyat memiliki kesabaran terbatas untuk menunggu sebuah perubahan, semoga pemerintahan baru yang telah diberi mandat oleh rakyat bisa membuktikan apa yang pernah mereka janjikan selama masa kampanye, …………….Semoga !!!!

KEMISKINAN


DEFINISI KEMISKINAN, KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBABNYA

Pengertian Kemiskinan

BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang yang mempunyai pengeluaran per kapita selama sebulan tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup standar minimum. Kebutuhan standar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK) yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Batas pemenuhan kebutuhan minimum mengacu pada rekomendasi Widya Karya Nasional dan Gizi pada tahun 1978, yaitu nilai rupiah dari pengeluaran untuk makanan yang menghasilkan energy 2.100 kilo kalori per orang setiap harinya. Sedangkan kebutuhan non pangan mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang barang tahan lama serta barang dan jasa esensial lainnya. Defenisi kemiskinan oleh Kuncoro, (1997:102-103) adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi tersebut menyiratkan tiga penyataan dasar, yaitu : (1) Bagaimana mengukur standar hidup; (2) Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum; dan (3) Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit. Rumusan kemiskinan menurut Friedmann (1992) sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut koferensi itu dirumuskan sebagai berikut : (1) Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya); (2) Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan); (3) Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka ; (4) Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia; (4) Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar. Menurut Sallatang (1986), kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan kepemilikan kekayaan materil, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologik, dan sosial. Sementara itu Esmara (1986), mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Bradshaw (2005) merumuskan kemiskinan sebagai situasi yang serba kekurangan. Makanan pokok, tempat berlindung, sarana kesehatan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan bersifat relatif dan berdasarkan pada definisi sosial dan pengalaman masa lalu (Sen, 1999). Valentine (1968) mengatakan bahwa esensi dari kemiskinan adalah ketimpangan (inequality). Amartya Sen (dalam Banarjee et al, 2006: 10) berpendapat bahwa kemiskinan tidak hanya dilihat berdasarkan ketidakcukupan pendapatan namun lebih luas lagi. Kemiskinan adalah ketiadaan satu atau beberapa kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk memperoleh fungsi minimal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini termasuk tidak memiliki pendapatan yang memadai untuk memperoleh kecukupan makanan, pakaian, atau tempat berlindung (kemiskinan karena pendapatan) atau tidak mampu mengobati penyakit ke sarana kesehatan (kemiskinan karena kesehatan yang buruk), juga tidak memiliki akses terhadap pendidikan, partisipasi politik, atau peran didalam bermasyarakat. Sumodiningrat (1989: 26). menyatakan bahwa kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya, sedangkan Kartasasmita (1997: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan
pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Lebih lanjut Kartasasmita mengemukaan bahwa masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann (1992: 123) yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari
ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial. Gambaran kemiskinan dapat dilihat sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berteduh, ketidakmampuan mendapatkan pengobatan secara medis, ketiadaan akses untuk bersekolah dan buta huruf, pengangguran, kekhawatiran tentang masa depan bahkan kehidupan pada suatu hari berikutnya. Potret kemiskinan lainnya adalah kehidupan tidak sehat yang sebabkan oleh air yang kotor, ketidakberdayaan, kehilangan aspirasi dan kebebasan. Kemiskinan yang dipahami memiliki konsep multidimensional mencakup seluruh indikator kesejahteraan, mempunyai banyak wajah, yang berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain1. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Pengertian ini dikenal dengan kemiskinan struktural. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga berhubungan erat dengan berbagai dimensi kehidupan manusia seperti jaminan kesehatan, pendidikan, masa depan dan peranan sosial. Sehingga agar kemiskinan tersebut dapat dipahami secara utuh maka dimensi-dimensi lain dalam kehidupan juga harus diperhitungkan. Adapun dimensi-dimensi tersebut antara lain: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan); tidak adanya/kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar lainnnya seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, maupun transportasi; kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam; tidak adanya jaminan masa depan akibat rendahnya investasi pendidikan keluarga; tidak adanya/kurangnya akses terhadap lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang berkelanjutan, ketidakberdayaan akibat adanya cacat fisik dan mental; serta ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak-anak terlantar, wanita akibat kekerasan dalam rumah tangga, janda miskin atau karena merupakan kelompok marjinal dan terpencil. Lembaga Penelitian SMERU2 menyatakan pengertian lain kemiskinan yakni sebagai ketidakmapuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kemiskinan timbul karena adanya ketimpangan dalam kepemilikan alat produksi, kemiskinan terkait pula dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan tertentu dalam suatu masyarakat. Mudrajat Kuncoro (2003: 123), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, antara lain dalam hal pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi. Berdasarkan konsumsi ini, garis kemiskinan terdiri dari dua elemen yaitu: (1) pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya; (2) jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Suyanto (1995:59) mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidakberdayaan”. Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinandeterminan sosial-budayanya (seperti posisi, status, dan wawasan yang
dipunyainya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang bahwa kemiskinan memiliki manifestasi yang bervariasi, termasuk keterbatasan pendapatan dan kecukupan sumber daya produksi untuk menjamin mata pencaharian secara terus-menerus, kelaparan dan kurang gizi, kesehatan yang rendah, keterbatasan akses pada pendidikan dan pelayanan dasar, peningkatan jumlah penderita penyakit dan kematian karena penyakit, gelandangan dan rumah kumuh, lingkungan yang tidak sehat, serta diskriminasi sosial dan keterasingan. Kemiskinan juga ditandai dengan keterbatasan pada partisipasi pengambilan keputusan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.3 Dari berbagai pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan kemiskinan merupakan kondisi serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok (utama), yang disebabkan oleh akibat sampingan dari suatu kebijaksanaan yang tidak dapat dihindari, merupakan akar kemiskinan dan akan mengakibatkan ketidakberdayaan penduduk lapisan masyarakat bawah, sehingga membawa pada gejala kemiskinan yang bersifat multidimensional, karena dalam kenyataannya berurusan juga dengan persoalanpersoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan politik).
2.2. Klasifikasi Kemiskinan
Sach (2005: 20) membedakan kemiskinan dalam tiga kategori yakni kemiskinan ekstrim (absolut), kemiskinan moderat dan kemiskinan relatif. Kemiskinan ekstrim adalah situasi rumah tangga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Rumah tangga yang mengalami kemiskinan ekstrim berada dalam situasi kelaparan kronis, tidak mampu mengakses sarana kesehatan, tidak memiliki sumber air minum bersih dan sanitasi yang baik, tidak mampu menyekolahkan sebagian atau semua anak dalam rumah tangga, dan mungkin kekurangan tempat perlindungan dasar. Kemiskinan moderat merujuk pada kondisi rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan dasar namun hanya untuk kebutuhan dasar saja. Sedangkan kemiskinan relatif ditafsirkan sebagai pendapatan rumah tangga di bawah proporsi rata-rata pendapatan nasional. Rumah tangga yang termasuk dalam kemiskinan relatif di negara berpendapatan tinggi, tidak memiliki akses terhadap benda-benda budaya, hiburan, rekreasi, dan pelayanan kesehatan berkualitas, pendidikan dan keuntungan lain bagi kelompok sosial atas. Mempertimbangkan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat juga mengarah pada konsep kemiskinan relatif. Di negara-negara maju pemenuhan kebutuhan dasar tidak lagi menjadi persoalan rumah tangga, ada penekanan yang lebih mendesak yaitu keterlibatan rumah tangga dalam dimensi sosial dan tidak
menjauh dari “mainstream” masyarakat lain. Menurut Todaro (2008: 203) kemiskinan dapat dibedakan menurut sifatnya yang terdiri atas: kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Konsep kemiskinan absolut adalah jumlah masyarakat yang hidup dibawah tingkat penghasilan minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sementara kemiskinan relatif adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat, meskipun tingkat pendapatan sudah mampu mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya (Esmara, 1986). Demikian
juga yang dikemukakan oleh Webster (dalam Keban, 1995) yang menjelaskan konsep kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut dengan istilah “relative deprivation” merupakan suatu pendekatan yang bersifat sangat sosial, dimana kemiskinan itu sendiri merupakan suatu produk persepsi sosial, terhadap kebutuhan manusia. Mudrajat Kuncoro (2003: 122), melihat kemiskinan dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana penduduk hidup di bawah garis kemiskinan tertentu atau pendapatan yang diperolehnya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Kemiskinan relatif adalah pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan atau berkaitan erat dengan distribusi pendapatan. Di samping itu Nasution (1996) berpendapat bahwa kemiskinan dibagi dalam dua kategori, yakni kemiskinan struktural dan alamiah. Kemiskinan
struktural disebut juga sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan buatan disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan yang ditetapkan. Kemiskinan buatan membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia. Sedangkan kemiskinan alamiah terjadi disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, penggunaan teknologi rendah dan bencana alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah. Selain itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan
struktural (Kartasasmita, 1996: 235, Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997: 23).
1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya menadapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut sebagai “Persistent Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.
2. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.
3. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kastasasmita (1996: 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese (dalam Sumodiningrat. 1999: 150) sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah, Pendapatan rendah, Produksi rendah. Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana “deprivation trap” atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakbedayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (Chambers, 1983: 145-147).
2.3. Indikator Kemiskinan
Penentuan indikator kemiskinan dapat dibagi dalam dua pendekatan yakni pendekatan moneter dan pendekatan non moneter. Pendekatan moneter menggunakan faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan uang atau variabel-variabel yang dikonversi kedalam nilai uang. Pendekatan moneter menggunakan nilai pendapatan atau nilai pengeluaran konsumsi tertentu yang dianggap memenuhi kebutuhan dasar yang dijadikan sebagai garis kemiskinan untuk menentukan status miskin atau tidak miskin. Pendapatan menurut Haig dan Simons merupakan konsumsi yang dikurangi dengan perubahan nilai kekayaan bersih. Sedangkan pengeluaran konsumsi merupakan penjumlahan nilai barangbarang atau jasa yang dibeli dan barang atau jasa yang dihasilkan sendiri. 4 Pendekatan moneter menggunakan nilai pengeluaran konsumsi dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan nilai pendapatan dengan beberapa alasan: (i) consumption is a better outcome than income (konsumsi aktual lebih berhubungan dengan kondisi kesejahteraan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya); (ii) consumption may be better measured than income (bagi para petani di desa kesulitan untuk mengingat jumlah pendapatan yang diperoleh mengingat pendapatan tersebut berdasarkan siklus hasil panen); consumption may better reflect a standard household’s actual standar of living and ability to meet basic needs. Namun tidak tertutup pengukuran kemiskinan menggunakan factor pendapatan karena lebih mudah membedakan sumber-sumber pendapatan yang diperoleh. Sedangkan pendekatan non moneter menggunakan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan uang yang diasosiasikan dengan kekurangan pada dimensi kesehatan, nurtisi, pendidikan, kepemilikan asset, peran sosial dalam masyarakat, ketidakberdayaan dan rendahnya penghargaan diri, Penghitungan kemiskinan yang pernah dilakukan oleh Sayogyo (dalam Seldayo dkk, 2003) pada awal tahun 1970-an menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indicator kemiskinan. Tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan adalah 240 kg per orang per tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan sebesar 360 kg beras per orang per tahun. Penduduk yang mengkonsumsi dibawah nilai ekuivalen tersebut digolongkan miskin.5 Selain Sayogyo, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga melakukan perhitungan dengan pendekatan non moneter lainnya. BKKBN menggunakan 23 indikator untuk menggolongkan keluarga ke dalam 5 kategori yakti Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga miskin menurut BKKBN adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi6, yakni: (1) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; (2) Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (3) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; (4) Paling kurang sekali seminggu
keluarga makan daging/ikan/telur; (5) Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru; (6) Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni.
2.4. Faktor Penyebab Kemiskinan
Dalam Paket Informasi Dasar (BKPK, 2001: 4) disebutkan bahwa faktorfaktor penyebab yang mendasar dari kemiskinan itu adalah sebagai berikut: (i) Kegagalan kepemilikan, terutama tanah, dan modal; (ii) Terbatasnya ketersediaan bahan baku kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (iv) Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (vi) Rendahnya produktifitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (vii) Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; (viii) Tidak adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); dan (ix) Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Sedangkan penyebab kemiskinan menurut suara orang miskin (dalam
BKPK, 2001: 5) yaitu: (i) Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk: modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan, dan kesehatan yang memadai; modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap kredit; modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik; sarana fisik, misalnya akses terhadap prasana dasar seperti jalan, air bersih, listrik; dan hidup di daerah yang terpencil; (ii) Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan goncangan karena: krisis ekonomi; kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan; kehilangan pekerjaan (PHK); konflik sosial dan politik; korban kekerasan sosial dan rumah tangga; bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global); serta musibah seperti jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit) dan; (iii) Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena; tidak ada kepastian hukum; tidak ada perlindungan dari kejahatan; kesewenang-wenangan aparat; ancaman dan intimidasi; kebijakan public yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan; rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. Acemoglu (dalam Banerjee et al, 2006:19) menyatakan bahwa penyebab fundamental terjadinya perbedaan kesejahteraan antar negara adalah kondisi geografis dan insitusi/lembaga yang ada. Unsur geografis yang dianggap sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan adalah iklim yang mempengaruhi usaha dalam bekerja, insentif dan produktivitias. Kemudian kondisi geografis juga dapat mempengaruhi teknologi yang digunakan oleh masyarakat terutama di bidang pertanian. Dan yang terakhir adalah hambatan penyakit menular. “The burden of infectious disease is similarly higher in the tropics than in the temperate zones” (Sach, 2000: 32). Kondisi geografis menekankan pada kekuatan alam sebagai faktor utama terhadap kemiskinan suatu masyarakat sedangkan kondisi institusi/kelembagaan merupakan pengaruh buatan manusia (man-made influence). Menurut pandangan ini kelompok masyarakat yang ada diorganisir untuk menjunjung tinggi hukum, mendorong investasi diberbagai bidang, memfasilitasi partisipasi masyarakat yang luas, dan mendukung transaksi pasar. Terdapat tiga elemen penting institusi yang baik yakni: (i) penegakkan dan pengakuan terhadap hak kepemilikan diranah masyarakat luas, sehingga setiap individu memiliki insentif untuk berinvestasi dan terlibat dalam kegiatan ekonomi; (ii) pembatasan terhadap kaum elite, politisi dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkuasa sehingga mereka tidak dapat mengambil alih atau menguasai pendapatan atau investasi dari yang lain dan menciptakan “permainan” yang tidak seimbang; (iii) kesempatan yang sama pada segmen masyarakat yang luas sehingga mereka dapat ikut berinvestasi terutama sumber daya manusia dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Menurut Sharp et.al (1996: 167) penyebab kemiskinan adalah (i) ketidaksamaan kepemilikan sumberdaya; (ii) perbedaan kualitas sumberdaya manusia; dan (iii) perbedaan dalam akses modal. Sedangkan Todaro berpendapat bahwa perbedaan kemiskinan disebabkan oleh faktor yaitu: (i) perbedaan geografis, penduduk dan pendapatan; (ii) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan; (iii) perbedaan sumber alam dan manusia; (iv) perbedaan sektor swasta dan negara; (v) perbedaan struktur perindustriannya; (vi) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain, dan (vii) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sementara pendapat yang lain melihat munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat berkaitan dengan lemahnya budaya, yaitu nilai hidup dalam masyarakat. Bradshaw (2005) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penyebab kemiskinan yakni: (i) kemiskinan yang disebabkan kekurangan yang terdapat dalam diri individu itu sendiri, dalam hal ini individu dianggap bertanggung jawab atas kondisi kemiskinan mereka sendiri karena dianggap kurang bekerja keras atau kekurangan secara genetik seperti kurang pandai atau intelegensianya kurang; (ii) kemiskinan yang disebabkan oleh sistem budaya miskin dan dukungan subbudaya miskin, yaitu kemiskinan diciptakan melalui transmisi kepercayaan, nilai-nilai, dan kemampuan sosial dari generasi ke generasi; (iii) kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi, politik dan distorsi sosial atau diskriminasi sehingga masyarakat memiliki kesempatan dan sumberdaya yang terbatas dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya; (iv) kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis; dan (v) kemiskinan yang disebabkan oleh kumulatif dan siklus ketergantungan antara individu dan sumberdaya, dimana individu yang tidak memiliki sumberdaya tidak mampu untuk berpartisipasi dalan kegiatan ekonomi yang lebih luas yang menyebabkan sedikitnya pembayaran pajak. Seperti antara pendidikan dan bekerja yang saling terkait dimana sedikitnya kesempatan kerja menyebabkan terjadinya migrasi, penutupan toko retail, dan penurunan pendapatan pajak setempat, yang mengakibatkan kondisi sekolah memburuk, sehingga pekerja memiliki
keterampilan yang buruk dan perusahaan tidak dapat menyerap tenaga kerja setempat dengan kemampuan rendah. Siklus ini berulang pada level individu yakni sedikitnya kesempatan kerja menyebabkan berkurangnya konsumsi dan pembelanjaan karena sedikitnya pendapatan, sedikit tabungan dan berarti individu tidak dapat berinvestasi di bidang pelatihan, dan individu memiliki sedikit kemampuan untuk berinvestasi pada usaha sendiri. Tahapan lain lingkaran kemiskinan adalah pandangan bahwa individu yang tidak memiliki pekerjaan dan sedikit pendapatan menyebabkan kurangnya rasa percaya diri, motivasi yang rendah dan depresi. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah adanya kegagalan kepemilikan asset, kondisi geografis yang kurang mendukung, kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan, kekurangan sumberdaya baik kualitas maupun kuantitas, tidak memiliki keterwakilan dalam institusi negara dan masyarakat, dan siklus yang menyebabkan kemiskinan berulang dari generasi ke generasi sehingga berpengaruh terhadap kondisi psikologis individu yakni rasa rendah diri, motivasi kurang dan bahkan depresi.
2.5. Ukuran Kemiskinan
Untuk mendapatkan ukuran kemiskinan digunakan fungsi statistik yang mendeskripsikan perbandingan antara indikator kesejahteraan rumah tangga dengan garis kemiskinan yang digunakan dalam suatu angka agregat untuk populasi atau sub populasi yang dipilih. Salah satu metode pengukuran kemiskinan yang populer dikenal dengan indeks FGT (Foster-Greer-Thorbecke). Indeks FGT diperkenalkan oleh Erik Thorbecke, James Foster, dan Joel Greer pada tahun 19847. Ukuran kemiskinan yang digunakan terdiri dari tiga indeks yakni: (a) Head Count Index; (b) Poverty Gap Index; dan (c) Poverty Severity Index. Head count index atau tingkat kemiskinan sering disimbolkan P0, merupakan angka perbandingan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Nilai P0 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Poverty Gap Index atau indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran (gap) masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks maka semakin jauh ratarata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan Poverty Severity Index atau indeks keparahan kemiskinan (P2) dapat menggambarkan ukuran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Tinggi rendahnya nilai P2 menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin itu sendiri. Konstruksi P2 dilakukan melalui pemberian bobot kuadratik pada nilai kesenjangan konsumsi sehingga disebut juga squared poverty gap.
2.6. Studi Empiris Kemiskinan yang Pernah Dilakukan
Studi yang pernah dilakukan oleh tim LPEM-FEUI8 menjelaskan bahwa profil kemiskinan membantu keberhasilan dari program pembangunan melalui ketepatan identifikasi target group dan target area. Menurut tim LPEM-FEUI kemiskinan rumah tangga dapat dilihat dari 5 karakteristik, masing-masing: (a) karakteristik lokasi geografis; (b) karakteristik demografis; (c) karakteristik ekonomi yang terdiri dari jabatan/pekerjaan, sumber penghasilan, pola konsumsi; (d) karakteristik sosial budaya; dan (e) karakteristik sistem ekonomi, berupa kriteria-kriteria khusus yang berhubungan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada saat itu, yakni asumsi dasar (keswadayaan, bantuan modal, organisasi kelompok), kegiatan ekonomi sasaran IDT (petani gurem, buruh tani, nelayan dan perambah hutan), dan cara bertahan hidup yakni kondisi ketergantungan pada pihak lain. Penelitian kemiskinan pada skala provinsi pernah dilakukan oleh Abdhul Aziiz Usman9 untuk provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan data Susenas Kor Tahun 2002. Metode pengolahan data adalah Indeks FGT dan Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) karakteristik geografis daerah (desa atau kota); (b) karakteristik sosial demografi, terdiri dari usia kepala rumah tangga, kepala rumah tangga wanita, rasio ketergantungan dan jumlah anak, jaringan sosial, konsumsi makanan berprotein tinggi; (c) karakteristik pendidikan terdiri dari literasio, jenjang pendidikan orang tua; (d) karakteristik ketenagakerjaan, terdiri dari jenis lapangan usaha dan status pekerjaan kepala
rumah tangga, jumlah jam kerja kepala rumah tangga, istri dan anak bekerja, (e) karakteristik perumahan, tediri dari kondisi lantai, sumber air minum, kondisi tempat buang air besar, dan konsumsi bahan bakar. Arifin Suaib (2008) pun melakukan penelitian kemiskinan di Provinsi Gorontalo dengan metode pengolahan data menggunakan indeks FGT, koefisien Gini, Growth Incidence Curve dan Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan di Provinsi Gorontalo dipengaruhi oleh faktorfaktor berikut: (a) karakteristik geografis daerah (desa atau kota); (b) karakteristik sosial demografi yang meliputi rasio ketergantungan, usia kepala rumah tangga, keluhan kesehatan, akses terhadap kredit usaha dan kerawanan terhadap perkelahian masal; (c) karakteristik perumahan, terdiri dari atap rumah dan luas lantai; (d) karakteristik ketenagakerjaan, terdiri dari jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan angka partisipasi angkatan kerja; (e) karakteristik pendidikan terdiri dari pendidikan keterampilan dan pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga. Dari studi literatur di atas dapat disimpulkan bahwa rumah tangga miskin untuk suatu wilayah memiliki karakteristik yang berbeda untuk wilayah yang lain. Demikian pula, determinan kemiskinan bisa berbeda pula antar wilayah yang berbeda. Namun dari penelitian-penelitian tersebut terdapat beberapa kesamaan karakterisitik rumah tangga miskin yaitu karakteristik ketenagakerjaan, karakteristik pendidikan, dan karakteristik geografis.