Mahatma Gandhi seorang tokoh
spiritual dan negarawan India
pernah mengungkapkan bahwa “ Bumi cukup
untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan
manusia ” Ungkapan Gandhi merupakan wujud keprihatinan dia atas kebobrokan yang terjadi dinegaranya
akibat korupsi.
Apabila pelacuran merupakan “the oldest profession”, maka
penyalahgunaan kewenangan dan jabatan dalam bentuk korupsi, kolusi dan
nepotisme merupakan “ as old as the
organization of powers “
Dalam konteks Indonesia apa
yang dikemukakan di atas harusnya dapat dijadikan pelajaran dan membuat para
penyelenggara negara bersikap lebih bijak dan berhati-hati dalam mengemban
amanat yang telah diberikan jutaan rakyat Indonesia kepundak mereka.
Dalam penyelenggaraan negara,
otoritas dan kekuasaan yang dimiliki anggota legislatif dan eksekutif kemudian
menghadapkan pada dua pilihan yang secara substantif dapat dijadikan parameter
moralitas mereka dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Apabila sifat rakus sebagaimana dikemukakan Gandhi mendominasi maka
yang akan mereka lakukan adalah dengan kekuasaan dan jabatan yang mereka miliki
mereka berupaya untuk memperkaya diri pribadi sekalipun itu harus mengambil hak
orang lain atau mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Tetapi apabila sifat
melayani lebih dominan maka dalam periode masa jabatan yang disandangnya yang
dilakukan adalah berpikir, bertindak, berkorban, bersikap atas kepentingan
rakyat banyak.
Dengan demikian, andai saja
pendapatan Negara yang diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pinjaman luar
negeri maupun dari hasil pajak tidak dikorup dikelola secara jujur dan
bertanggung jawab serta dialokasikan untuk penyediaan fasilitas publik maka kondisi
bangsa Indonesia
harusnya menjadi lebih baik dari kondisi sekarang.
Jacob Van Klaveren dalam
artikelnya “The Concept of Corruption“
mengungkapkan “orang yang korup akan
menggunakan jabatannya untuk kepentingan bisnis dimana dia bisa memperoleh
pendapatan sebanyak mungkin, lembaga tempat dia bekerja akan menjadi unit
maksimisasi“ Konsepsi tersebut menunjukkan bahwa seorang koruptor akan selalu
berupaya secara maksimal menggunakan jabatan dan kekuasaan yang dimiliknya
untuk memperkaya diri pribadinya.
Kalau dulu seorang penyelenggara
negara masih agak sungkan mempertontonkan kemewahan yang dimilikinya, sekarang
paham materialisme justru menjadi bagian gaya
hidup mereka. Akibatnya instant culture
dan hedonism menjadi sesuatu yang
mereka anggap lumrah.
Pendek kata korupsi di Indonesia telah
memasuki tahap yang sangat kompleks dan melanda bukan hanya kalangan birokrat
pemerintahan tetapi juga wakil rakyat yang duduk dilembaga legislatif. Korupsi
sudah mensistem, mengakar bahkan sudah menjadi budaya. Bill Dalton dalam
bukunya “Indonesia Hand Book” yang
dilarang beredar di Indonesia mengatakan bahwa korupsi sudah merupakan cara
hidup sehari-hari, hampir semua institusi, bahkan institusi yang bertugas
menyelamatkan dan menghambat korupsi seperti BPK, Inspektorat Jendral (Irjen),
Bawasprov dan Bawasda telah terkotori oleh praktek-praktek korupsi
Disinyalir 50% dari GNP (Gross
National Product) tiap tahun lenyap akibat pungutan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan. Kemudian sekitar 30 % dana pembangunan baik yang dibiayai oleh
APBN maupun bantuan luar negeri sirna oleh kegiatan KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme)
Ketika otonomi daerah
dicanangkan, masyarakat berharap bahwa pembangunan daerah dapat menjadi lebih
pesat dan tingkat kesejahteraan mereka akan lebih meningkat, namun kenyataannya
dibanyak daerah justru yang terjadi adalah otonomi korupsi yang luar biasa,
dimana eksekutif dan legislatif di banyak daerah termasuk di salah satu
Kabupaten di Kalimantan Timur, diduga bekerjasama melakukan mark up anggaran serta menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi atau
golongan. Sehingga tidak heran baru beberapa tahun berjalan otonomi daerah
sudah menuai kritik yang cukup tajam di masyarakat.
Otonomi daerah bagaimanapun harus
terus dilaksanakan, walaupun sebenarnya ada beberapa catatan penting yang harus
lebih diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah :
1.
Semangat untuk melaksanakan otonomi daerah dapat
menjadi pemicu keberhasilan pembangunan di daerah, untuk itu para pejabat di
daerah harus terhindar dari aktivitas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki selain itu mereka juga harus terhindar dari praktek-praktek yang tidak
terpuji dan bernuansa KKN.
2.
Pembangunan harus menyentuh kepentingan substantif
sebagian besar rakyat di daerah, pemerintah tidak boleh seenaknya
mengatasnamakan rakyat apabila proyek yang dibangun tersebut tidak bersentuhan
langsung dengan kebutuhan rakyat.
3.
Penetapan skala prioritas pembangunan di daerah harus
memperhatikan azas keseimbangan antara pembangunan fisik dan non fisik.
4.
Di era otonomi daerah hal lain yang juga nampak adalah
pembangunan atau penyediaan fasilitas bagi pejabat baik rumah jabatan, mobil
dinas mewah atau pembangunan proyek multiyears justru menjadi lebih prioritas
ketimbang penyediaan fasilitas publik. Ironis memang saat sang pejabat dengan
gagahnya turun naik mobil mewah, masih banyak rakyat mengeluhkan jalan yang berdebu
dan penuh lubang, begitu juga saat segelintir rakyat masih tidur beralaskan
trotoar dan beratapkan langit sang pejabat seenaknya merehab, membongkar dan
membangun rumah dinas dengan segenap fasilitasnya yang serba mewah. Ketika
sebagian buruh berbulan-bulan tidak dibayar gajinya, anggota dewan malah sibuk
mengkalkulasi berapa juta gaji yang layak buat mereka sebagai anggota dewan
yang terhormat.
Itulah potret negeri ini,
kesenjangan demi kesenjangan terus terjadi didepan mata tanpa kita dapat
berbuat apa-apa.
Fenomena tersebut kemudian
memberikan inspirasi bagi seorang Iwan Fals untuk menulis lagu yang berjudul “Bongkar”
dimana sebagian lyrik lagu tersebut berbunyi sebagai berikut : “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap
keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperkuda jabatan.
Sabar sabar sabar dan tunggu itu jawaban yang kami terima, ternyata kita harus
kejalan robohkan setan yang berdiri mengangkang. Penindasan serta
kesewenang-wenangan banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan, hentikan hoi
hentikan, jangan diteruskan, kami muak dengan ketidak pastian dan keserakahan”
Iwan Fals mungkin benar, rakyat memiliki
kesabaran terbatas untuk menunggu sebuah perubahan, semoga pemerintahan baru
yang telah diberi mandat oleh rakyat bisa membuktikan apa yang pernah mereka
janjikan selama masa kampanye, …………….Semoga !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar