DEFINISI KEMISKINAN, KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBABNYA
Pengertian
Kemiskinan
BPS mendefinisikan kemiskinan
sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang
yang mempunyai pengeluaran per kapita selama sebulan tidak cukup memenuhi
kebutuhan hidup standar minimum. Kebutuhan standar minimum digambarkan dengan
garis kemiskinan (GK) yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan
untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Batas pemenuhan
kebutuhan minimum mengacu pada rekomendasi Widya Karya Nasional dan Gizi pada tahun
1978, yaitu nilai rupiah dari pengeluaran untuk makanan yang menghasilkan
energy 2.100 kilo kalori per orang setiap harinya. Sedangkan kebutuhan non
pangan mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian,
pendidikan, kesehatan, transportasi, barang barang tahan lama serta barang dan
jasa esensial lainnya. Defenisi kemiskinan oleh Kuncoro, (1997:102-103) adalah
ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi tersebut
menyiratkan tiga penyataan dasar, yaitu : (1) Bagaimana mengukur standar hidup;
(2) Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum; dan (3) Indikator sederhana
yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit.
Rumusan kemiskinan menurut Friedmann (1992) sebagai minimnya kebutuhan dasar
sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar
menurut koferensi itu dirumuskan sebagai berikut : (1) Kebutuhan minimum dari
suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya);
(2) Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk
komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan
umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan); (3) Partisipasi masyarakat dalam
pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka ; (4) Terpenuhinya tingkat absolut
kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar
manusia; (4) Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat
maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar. Menurut Sallatang (1986), kemiskinan
adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan kepemilikan kekayaan materil,
tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologik, dan sosial.
Sementara itu Esmara (1986), mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai
keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak.
Bradshaw (2005) merumuskan kemiskinan sebagai situasi yang serba kekurangan.
Makanan pokok, tempat berlindung, sarana kesehatan adalah kebutuhan pokok yang
harus dipenuhi dalam kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan bersifat relatif dan
berdasarkan pada definisi sosial dan pengalaman masa lalu (Sen, 1999).
Valentine (1968) mengatakan bahwa esensi dari kemiskinan adalah ketimpangan (inequality).
Amartya Sen (dalam Banarjee et al, 2006: 10) berpendapat bahwa kemiskinan tidak
hanya dilihat berdasarkan ketidakcukupan pendapatan namun lebih luas lagi.
Kemiskinan adalah ketiadaan satu atau beberapa kemampuan dasar yang dibutuhkan
untuk memperoleh fungsi minimal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini termasuk
tidak memiliki pendapatan yang memadai untuk memperoleh kecukupan makanan,
pakaian, atau tempat berlindung (kemiskinan karena pendapatan) atau tidak mampu
mengobati penyakit ke sarana kesehatan (kemiskinan karena kesehatan yang
buruk), juga tidak memiliki akses terhadap pendidikan, partisipasi politik,
atau peran didalam bermasyarakat. Sumodiningrat (1989: 26). menyatakan bahwa
kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya, sedangkan Kartasasmita (1997: 234)
mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai
dengan
pengangguran dan keterbelakangan,
yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Lebih lanjut Kartasasmita
mengemukaan bahwa masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha
dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari
masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada
dengan yang dikatakan Friedmann (1992: 123) yang mengatakan bahwa kemiskinan
sebagai akibat dari
ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasi basis kekuatan sosial. Gambaran kemiskinan dapat dilihat sebagai
kelaparan, ketiadaan tempat berteduh, ketidakmampuan mendapatkan pengobatan
secara medis, ketiadaan akses untuk bersekolah dan buta huruf, pengangguran,
kekhawatiran tentang masa depan bahkan kehidupan pada suatu hari berikutnya.
Potret kemiskinan lainnya adalah kehidupan tidak sehat yang sebabkan oleh air
yang kotor, ketidakberdayaan, kehilangan aspirasi dan kebebasan. Kemiskinan
yang dipahami memiliki konsep multidimensional mencakup seluruh indikator
kesejahteraan, mempunyai banyak wajah, yang berubah dari waktu ke waktu, dari
satu tempat ke tempat yang lain1. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan sekelompok
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga
mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Pengertian ini
dikenal dengan kemiskinan struktural. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan
tidak hanya berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar,
tetapi juga berhubungan erat dengan berbagai dimensi kehidupan manusia seperti
jaminan kesehatan, pendidikan, masa depan dan peranan sosial. Sehingga agar
kemiskinan tersebut dapat dipahami secara utuh maka dimensi-dimensi lain dalam
kehidupan juga harus diperhitungkan. Adapun dimensi-dimensi tersebut antara
lain: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan); tidak
adanya/kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar lainnnya seperti pendidikan, kesehatan,
air bersih, sanitasi, maupun transportasi; kerentanan terhadap goncangan yang
bersifat individual maupun massal; rendahnya kualitas sumber daya manusia dan
terbatasnya sumber daya alam; tidak adanya jaminan masa depan akibat rendahnya
investasi pendidikan keluarga; tidak adanya/kurangnya akses terhadap lapangan
pekerjaan dan mata pencaharian yang berkelanjutan, ketidakberdayaan akibat
adanya cacat fisik dan mental; serta ketidakmampuan dan ketidakberuntungan
sosial seperti anak-anak terlantar, wanita akibat kekerasan dalam rumah tangga,
janda miskin atau karena merupakan kelompok marjinal dan terpencil. Lembaga
Penelitian SMERU2 menyatakan pengertian lain kemiskinan yakni sebagai
ketidakmapuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan
kualitas hidupnya. Kemiskinan timbul karena adanya ketimpangan dalam
kepemilikan alat produksi, kemiskinan terkait pula dengan sikap, budaya hidup,
dan lingkungan tertentu dalam suatu masyarakat. Mudrajat Kuncoro (2003: 123),
kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup
minimum, antara lain dalam hal pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada
konsumsi. Berdasarkan konsumsi ini, garis kemiskinan terdiri dari dua elemen
yaitu: (1) pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan
kebutuhan mendasar lainnya; (2) jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi,
yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Suyanto (1995:59) mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidakberdayaan”.
Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya
tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak
ditentukan dan dipengaruhi oleh determinandeterminan sosial-budayanya (seperti
posisi, status, dan wawasan yang
dipunyainya). Sebaliknya, semua
fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula
menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah
masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan
merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang
itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang
mestinya malah harus disyukuri. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memandang bahwa kemiskinan memiliki manifestasi yang bervariasi, termasuk
keterbatasan pendapatan dan kecukupan sumber daya produksi untuk menjamin mata
pencaharian secara terus-menerus, kelaparan dan kurang gizi, kesehatan yang
rendah, keterbatasan akses pada pendidikan dan pelayanan dasar, peningkatan
jumlah penderita penyakit dan kematian karena penyakit, gelandangan dan rumah
kumuh, lingkungan yang tidak sehat, serta diskriminasi sosial dan keterasingan.
Kemiskinan juga ditandai dengan keterbatasan pada partisipasi pengambilan
keputusan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.3 Dari berbagai pendapat di
atas dapat dinyatakan bahwa fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan
kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
kemiskinan merupakan kondisi serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok
(utama), yang disebabkan oleh akibat sampingan dari suatu kebijaksanaan yang
tidak dapat dihindari, merupakan akar kemiskinan dan akan mengakibatkan
ketidakberdayaan penduduk lapisan masyarakat bawah, sehingga membawa pada
gejala kemiskinan yang bersifat multidimensional, karena dalam kenyataannya
berurusan juga dengan persoalanpersoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan
politik).
2.2. Klasifikasi Kemiskinan
Sach (2005: 20) membedakan
kemiskinan dalam tiga kategori yakni kemiskinan ekstrim (absolut), kemiskinan
moderat dan kemiskinan relatif. Kemiskinan ekstrim adalah situasi rumah tangga
yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam mempertahankan
kelangsungan hidup. Rumah tangga yang mengalami kemiskinan ekstrim berada dalam
situasi kelaparan kronis, tidak mampu mengakses sarana kesehatan, tidak
memiliki sumber air minum bersih dan sanitasi yang baik, tidak mampu
menyekolahkan sebagian atau semua anak dalam rumah tangga, dan mungkin kekurangan
tempat perlindungan dasar. Kemiskinan moderat merujuk pada kondisi rumah tangga
dapat memenuhi kebutuhan dasar namun hanya untuk kebutuhan dasar saja.
Sedangkan kemiskinan relatif ditafsirkan sebagai pendapatan rumah tangga di
bawah proporsi rata-rata pendapatan nasional. Rumah tangga yang termasuk dalam
kemiskinan relatif di negara berpendapatan tinggi, tidak memiliki akses
terhadap benda-benda budaya, hiburan, rekreasi, dan pelayanan kesehatan
berkualitas, pendidikan dan keuntungan lain bagi kelompok sosial atas.
Mempertimbangkan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat juga mengarah pada konsep kemiskinan relatif. Di negara-negara maju
pemenuhan kebutuhan dasar tidak lagi menjadi persoalan rumah tangga, ada
penekanan yang lebih mendesak yaitu keterlibatan rumah tangga dalam dimensi
sosial dan tidak
menjauh dari “mainstream”
masyarakat lain. Menurut Todaro (2008: 203) kemiskinan dapat dibedakan menurut
sifatnya yang terdiri atas: kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Konsep
kemiskinan absolut adalah jumlah masyarakat yang hidup dibawah tingkat
penghasilan minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti
makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sementara kemiskinan relatif adalah suatu
kondisi kehidupan masyarakat, meskipun tingkat pendapatan sudah mampu mencapai
tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih tetap jauh lebih rendah dibandingkan
dengan keadaan masyarakat sekitarnya (Esmara, 1986). Demikian
juga yang dikemukakan oleh
Webster (dalam Keban, 1995) yang menjelaskan konsep kemiskinan relatif dan
kemiskinan absolut dengan istilah “relative deprivation”
merupakan suatu pendekatan yang bersifat sangat sosial, dimana kemiskinan itu
sendiri merupakan suatu produk persepsi sosial, terhadap kebutuhan manusia. Mudrajat
Kuncoro (2003: 122), melihat kemiskinan dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut
dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana penduduk
hidup di bawah garis kemiskinan tertentu atau pendapatan yang diperolehnya
berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum antara lain: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Kemiskinan
relatif adalah pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing
golongan pendapatan atau berkaitan erat dengan distribusi pendapatan. Di
samping itu Nasution (1996) berpendapat bahwa kemiskinan dibagi dalam dua
kategori, yakni kemiskinan struktural dan alamiah. Kemiskinan
struktural disebut juga sebagai
kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak
langsung kemiskinan buatan disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup
tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan yang
ditetapkan. Kemiskinan buatan membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu
menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia. Sedangkan
kemiskinan alamiah terjadi disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam, penggunaan teknologi rendah dan bencana alam. Pada
kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi
relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah. Selain itu
terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab
kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural,
(2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan
struktural (Kartasasmita, 1996: 235,
Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997: 23).
1. Kemiskinan natural adalah
keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut
menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya
alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka
ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya menadapat imbalan pendapatan yang
rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena
bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235)
disebut sebagai “Persistent Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis
atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang
kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.
2. Kemiskinan kultural mengacu
pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya
hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan
tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk
diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki
dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah
menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas,
tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.
3. Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan
ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi
dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok
masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27)
mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi
kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program dan
kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya
tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat
menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang
timpang. Menurut Kastasasmita (1996: 236) hal ini disebut “accidental
poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu
yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah
kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese (dalam Sumodiningrat. 1999: 150)
sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu :
Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah,
Pendapatan rendah, Produksi rendah. Lain halnya dengan pendapat Chambers yang
mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana
“deprivation trap” atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur
yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakbedayaan.
Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan
saling mempengaruhi (Chambers, 1983: 145-147).
2.3. Indikator Kemiskinan
Penentuan indikator kemiskinan
dapat dibagi dalam dua pendekatan yakni pendekatan moneter dan pendekatan non
moneter. Pendekatan moneter menggunakan faktor-faktor yang berhubungan langsung
dengan uang atau variabel-variabel yang dikonversi kedalam nilai uang.
Pendekatan moneter menggunakan nilai pendapatan atau nilai pengeluaran konsumsi
tertentu yang dianggap memenuhi kebutuhan dasar yang dijadikan sebagai garis
kemiskinan untuk menentukan status miskin atau tidak miskin. Pendapatan menurut
Haig dan Simons merupakan konsumsi yang dikurangi dengan perubahan nilai
kekayaan bersih. Sedangkan pengeluaran konsumsi merupakan penjumlahan nilai
barangbarang atau jasa yang dibeli dan barang atau jasa yang dihasilkan
sendiri. 4 Pendekatan moneter menggunakan nilai pengeluaran konsumsi dianggap
lebih baik jika dibandingkan dengan nilai pendapatan dengan beberapa alasan:
(i) consumption is a better outcome than income (konsumsi aktual lebih
berhubungan dengan kondisi kesejahteraan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya);
(ii) consumption may be better measured than income (bagi para petani di
desa kesulitan untuk mengingat jumlah pendapatan yang diperoleh mengingat pendapatan
tersebut berdasarkan siklus hasil panen); consumption may better reflect
a standard household’s actual standar of living and ability to meet basic needs.
Namun tidak tertutup pengukuran kemiskinan menggunakan factor pendapatan karena
lebih mudah membedakan sumber-sumber pendapatan yang diperoleh. Sedangkan
pendekatan non moneter menggunakan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan
uang yang diasosiasikan dengan kekurangan pada dimensi kesehatan, nurtisi,
pendidikan, kepemilikan asset, peran sosial dalam masyarakat, ketidakberdayaan
dan rendahnya penghargaan diri, Penghitungan kemiskinan yang pernah dilakukan
oleh Sayogyo (dalam Seldayo dkk, 2003) pada awal tahun 1970-an menggunakan
tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indicator kemiskinan. Tingkat
ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan adalah 240 kg per orang per tahun,
sedangkan untuk daerah perkotaan sebesar 360 kg beras per orang per tahun.
Penduduk yang mengkonsumsi dibawah nilai ekuivalen tersebut digolongkan
miskin.5 Selain Sayogyo, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
juga melakukan perhitungan dengan pendekatan non moneter lainnya. BKKBN menggunakan
23 indikator untuk menggolongkan keluarga ke dalam 5 kategori yakti Keluarga
Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera
III dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga miskin menurut BKKBN adalah
keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator
penentu kemiskinan alasan ekonomi6, yakni: (1) Pada umumnya seluruh anggota
keluarga makan dua kali sehari atau lebih; (2) Anggota keluarga memiliki
pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (3) Bagian
lantai yang terluas bukan dari tanah; (4) Paling kurang sekali seminggu
keluarga makan daging/ikan/telur;
(5) Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu
stel pakaian baru; (6) Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk
tiap penghuni.
2.4. Faktor Penyebab Kemiskinan
Dalam Paket Informasi Dasar
(BKPK, 2001: 4) disebutkan bahwa faktorfaktor penyebab yang mendasar dari
kemiskinan itu adalah sebagai berikut: (i) Kegagalan kepemilikan, terutama
tanah, dan modal; (ii) Terbatasnya ketersediaan bahan baku kebutuhan dasar,
sarana dan prasarana; (iii) Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias
sektor; (iv) Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan
sistem yang kurang mendukung; (v) Adanya perbedaan sumber daya manusia dan
perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern);
(vi) Rendahnya produktifitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;
(vii) Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber
daya alam dan lingkungannya; (viii) Tidak adanya tata kelola pemerintahan yang
bersih dan baik (good governance); dan (ix) Pengelolaan sumber daya alam
yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Sedangkan penyebab kemiskinan
menurut suara orang miskin (dalam
BKPK, 2001: 5) yaitu: (i)
Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar,
termasuk: modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan,
dan kesehatan yang memadai; modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap kredit;
modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan
politik; sarana fisik, misalnya akses terhadap prasana dasar seperti jalan, air
bersih, listrik; dan hidup di daerah yang terpencil; (ii) Kerentanan dan
ketidakmampuan menghadapi goncangan goncangan karena: krisis ekonomi; kegagalan
panen karena hama, banjir atau kekeringan; kehilangan pekerjaan (PHK); konflik
sosial dan politik; korban kekerasan sosial dan rumah tangga; bencana alam
(longsor, gempa bumi, perubahan iklim global); serta musibah seperti jatuh
sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit) dan; (iii)
Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam
institusi negara dan masyarakat karena; tidak ada kepastian hukum; tidak ada
perlindungan dari kejahatan; kesewenang-wenangan aparat; ancaman dan
intimidasi; kebijakan public yang tidak peka dan tidak mendukung upaya
penanggulangan kemiskinan; rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. Acemoglu
(dalam Banerjee et al, 2006:19) menyatakan bahwa penyebab fundamental
terjadinya perbedaan kesejahteraan antar negara adalah kondisi geografis dan
insitusi/lembaga yang ada. Unsur geografis yang dianggap sangat berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan adalah iklim yang mempengaruhi usaha dalam
bekerja, insentif dan produktivitias. Kemudian kondisi geografis juga dapat
mempengaruhi teknologi yang digunakan oleh masyarakat terutama di bidang
pertanian. Dan yang terakhir adalah hambatan penyakit menular. “The burden
of infectious disease is similarly higher in the tropics than in the temperate
zones” (Sach, 2000: 32). Kondisi geografis menekankan pada kekuatan alam
sebagai faktor utama terhadap kemiskinan suatu masyarakat sedangkan kondisi
institusi/kelembagaan merupakan pengaruh buatan manusia (man-made influence).
Menurut pandangan ini kelompok masyarakat yang ada diorganisir untuk menjunjung
tinggi hukum, mendorong investasi diberbagai bidang, memfasilitasi partisipasi
masyarakat yang luas, dan mendukung transaksi pasar. Terdapat tiga elemen
penting institusi yang baik yakni: (i) penegakkan dan pengakuan terhadap hak
kepemilikan diranah masyarakat luas, sehingga setiap individu memiliki insentif
untuk berinvestasi dan terlibat dalam kegiatan ekonomi; (ii) pembatasan
terhadap kaum elite, politisi dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkuasa
sehingga mereka tidak dapat mengambil alih atau menguasai pendapatan atau
investasi dari yang lain dan menciptakan “permainan” yang tidak seimbang; (iii)
kesempatan yang sama pada segmen masyarakat yang luas sehingga mereka dapat
ikut berinvestasi terutama sumber daya manusia dan berpartisipasi dalam
kegiatan ekonomi produktif. Menurut Sharp et.al (1996: 167) penyebab kemiskinan
adalah (i) ketidaksamaan kepemilikan sumberdaya; (ii) perbedaan kualitas
sumberdaya manusia; dan (iii) perbedaan dalam akses modal. Sedangkan Todaro
berpendapat bahwa perbedaan kemiskinan disebabkan oleh faktor yaitu: (i)
perbedaan geografis, penduduk dan pendapatan; (ii) perbedaan sejarah, sebagian
dijajah oleh negara yang berlainan; (iii) perbedaan sumber alam dan manusia; (iv)
perbedaan sektor swasta dan negara; (v) perbedaan struktur perindustriannya;
(vi) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara
lain, dan (vii) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan
dalam negeri. Sementara pendapat yang lain melihat munculnya kemiskinan dalam
suatu masyarakat berkaitan dengan lemahnya budaya, yaitu nilai hidup dalam masyarakat.
Bradshaw (2005) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penyebab kemiskinan
yakni: (i) kemiskinan yang disebabkan kekurangan yang terdapat dalam diri
individu itu sendiri, dalam hal ini individu dianggap bertanggung jawab atas
kondisi kemiskinan mereka sendiri karena dianggap kurang bekerja keras atau
kekurangan secara genetik seperti kurang pandai atau intelegensianya kurang; (ii)
kemiskinan yang disebabkan oleh sistem budaya miskin dan dukungan subbudaya miskin,
yaitu kemiskinan diciptakan melalui transmisi kepercayaan, nilai-nilai, dan
kemampuan sosial dari generasi ke generasi; (iii) kemiskinan yang disebabkan
oleh kondisi ekonomi, politik dan distorsi sosial atau diskriminasi sehingga
masyarakat memiliki kesempatan dan sumberdaya yang terbatas dalam upaya
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya; (iv) kemiskinan yang disebabkan
oleh perbedaan kondisi geografis; dan (v) kemiskinan yang disebabkan oleh
kumulatif dan siklus ketergantungan antara individu dan sumberdaya, dimana
individu yang tidak memiliki sumberdaya tidak mampu untuk berpartisipasi dalan
kegiatan ekonomi yang lebih luas yang menyebabkan sedikitnya pembayaran pajak.
Seperti antara pendidikan dan bekerja yang saling terkait dimana sedikitnya
kesempatan kerja menyebabkan terjadinya migrasi, penutupan toko retail, dan
penurunan pendapatan pajak setempat, yang mengakibatkan kondisi sekolah
memburuk, sehingga pekerja memiliki
keterampilan yang buruk dan
perusahaan tidak dapat menyerap tenaga kerja setempat dengan kemampuan rendah.
Siklus ini berulang pada level individu yakni sedikitnya kesempatan kerja
menyebabkan berkurangnya konsumsi dan pembelanjaan karena sedikitnya
pendapatan, sedikit tabungan dan berarti individu tidak dapat berinvestasi di
bidang pelatihan, dan individu memiliki sedikit kemampuan untuk berinvestasi
pada usaha sendiri. Tahapan lain lingkaran kemiskinan adalah pandangan bahwa
individu yang tidak memiliki pekerjaan dan sedikit pendapatan menyebabkan
kurangnya rasa percaya diri, motivasi yang rendah dan depresi. Dari
pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab
kemiskinan adalah adanya kegagalan kepemilikan asset, kondisi geografis yang
kurang mendukung, kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan,
kekurangan sumberdaya baik kualitas maupun kuantitas, tidak memiliki
keterwakilan dalam institusi negara dan masyarakat, dan siklus yang menyebabkan
kemiskinan berulang dari generasi ke generasi sehingga berpengaruh terhadap
kondisi psikologis individu yakni rasa rendah diri, motivasi kurang dan bahkan
depresi.
2.5. Ukuran Kemiskinan
Untuk mendapatkan ukuran
kemiskinan digunakan fungsi statistik yang mendeskripsikan perbandingan antara
indikator kesejahteraan rumah tangga dengan garis kemiskinan yang digunakan
dalam suatu angka agregat untuk populasi atau sub populasi yang dipilih. Salah
satu metode pengukuran kemiskinan yang populer dikenal dengan indeks FGT
(Foster-Greer-Thorbecke). Indeks FGT diperkenalkan oleh Erik Thorbecke, James
Foster, dan Joel Greer pada tahun 19847. Ukuran kemiskinan yang digunakan
terdiri dari tiga indeks yakni: (a) Head Count Index; (b) Poverty Gap
Index; dan (c) Poverty Severity Index. Head count index atau
tingkat kemiskinan sering disimbolkan P0, merupakan angka perbandingan penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan. Nilai P0 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Poverty Gap Index atau
indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran (gap) masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks maka semakin jauh ratarata pengeluaran penduduk
miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan Poverty Severity Index atau indeks
keparahan kemiskinan (P2) dapat menggambarkan ukuran penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Tinggi rendahnya nilai P2 menunjukkan tingkat
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin itu sendiri. Konstruksi P2
dilakukan melalui pemberian bobot kuadratik pada nilai kesenjangan konsumsi
sehingga disebut juga squared poverty gap.
2.6. Studi Empiris Kemiskinan
yang Pernah Dilakukan
Studi yang pernah dilakukan oleh
tim LPEM-FEUI8 menjelaskan bahwa profil kemiskinan membantu keberhasilan dari
program pembangunan melalui ketepatan identifikasi target group dan target
area. Menurut tim LPEM-FEUI kemiskinan rumah tangga dapat dilihat dari 5
karakteristik, masing-masing: (a) karakteristik lokasi geografis; (b)
karakteristik demografis; (c) karakteristik ekonomi yang terdiri dari
jabatan/pekerjaan, sumber penghasilan, pola konsumsi; (d) karakteristik sosial
budaya; dan (e) karakteristik sistem ekonomi, berupa kriteria-kriteria khusus
yang berhubungan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada saat itu,
yakni asumsi dasar (keswadayaan, bantuan modal, organisasi kelompok), kegiatan
ekonomi sasaran IDT (petani gurem, buruh tani, nelayan dan perambah hutan), dan
cara bertahan hidup yakni kondisi ketergantungan pada pihak lain. Penelitian
kemiskinan pada skala provinsi pernah dilakukan oleh Abdhul Aziiz Usman9 untuk
provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan data Susenas Kor Tahun 2002. Metode
pengolahan data adalah Indeks FGT dan Regresi Logistik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut: (a) karakteristik geografis daerah (desa atau kota); (b)
karakteristik sosial demografi, terdiri dari usia kepala rumah tangga, kepala
rumah tangga wanita, rasio ketergantungan dan jumlah anak, jaringan sosial,
konsumsi makanan berprotein tinggi; (c) karakteristik pendidikan terdiri dari
literasio, jenjang pendidikan orang tua; (d) karakteristik ketenagakerjaan,
terdiri dari jenis lapangan usaha dan status pekerjaan kepala
rumah tangga, jumlah jam kerja
kepala rumah tangga, istri dan anak bekerja, (e) karakteristik perumahan,
tediri dari kondisi lantai, sumber air minum, kondisi tempat buang air besar,
dan konsumsi bahan bakar. Arifin Suaib (2008) pun melakukan penelitian
kemiskinan di Provinsi Gorontalo dengan metode pengolahan data menggunakan
indeks FGT, koefisien Gini, Growth Incidence Curve dan Regresi Logistik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan di Provinsi Gorontalo dipengaruhi oleh
faktorfaktor berikut: (a) karakteristik geografis daerah (desa atau kota); (b)
karakteristik sosial demografi yang meliputi rasio ketergantungan, usia kepala
rumah tangga, keluhan kesehatan, akses terhadap kredit usaha dan kerawanan
terhadap perkelahian masal; (c) karakteristik perumahan, terdiri dari atap
rumah dan luas lantai; (d) karakteristik ketenagakerjaan, terdiri dari jenis
pekerjaan kepala rumah tangga dan angka partisipasi angkatan kerja; (e)
karakteristik pendidikan terdiri dari pendidikan keterampilan dan pendidikan
kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga. Dari studi literatur di atas
dapat disimpulkan bahwa rumah tangga miskin untuk suatu wilayah memiliki
karakteristik yang berbeda untuk wilayah yang lain. Demikian pula, determinan
kemiskinan bisa berbeda pula antar wilayah yang berbeda. Namun dari
penelitian-penelitian tersebut terdapat beberapa kesamaan karakterisitik rumah
tangga miskin yaitu karakteristik ketenagakerjaan, karakteristik pendidikan, dan
karakteristik geografis.