Rabu, 13 Juni 2012

Kemacetan, Akar permasalahan dan Solusinya



Sebagai kota dengan jumlah penduduk hamper 700.000 jiwa, wajar jika samarinda dalam perkembangannya menjadi salah satu kota dengan tingkat kepadatan kendaraan yang cukup tinggi, saat ini saja setiap hari pertumbuhan kendaraan roda dua maupun roda empat berkisar pada angka 133 unit. Angka yang cukup fantastis mengingat ruas jalan di kota Samarinda pendek dan lebar jalannya kurang memadai untuk menampung kendaraan dalam jumlah banyak. Membangun jalan alternative atau jembatan layang mungkin salah satu solusi yang perlu dipikirkan kedepan, namun semua itu tergantung sejauh mana pemerintah Kota Samarinda mendapatkan porsi anggaran yang memadai untuk membenahi kota yang kian hari kian macet dengan lautan kenderaan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Kondisi ini diperburuk dengan bebasnya kendaraan kontainer dan truk besar berkendara di jalan-jalan utama terutama pada jam-jam sibuk.
Berdasarkan data pihak Satlantas Poltabes Samarinda, jika kondisi tersebut tidak segera diatasi baik dengan cara menekan pertambahan kendaraan maupun memperpanjang dan memperluas jalan raya maka dapat dipastikan Samarinda dalam dua tiga tahun kedepan kemacetannya akan semakin parah.

Berdasarkan data statistik laju pertumbuhan kendaraan baik roda dua maupun roda empat di kota Samarinda mencapai 3.500 hingga 4.000 unit per bulan dan itu belum termasuk kendaraan mutasi atau yang mampir di Samarinda.

Secara sosiologis kebutuhan sosial  (social needs) perlu diakomodasi bukan hanya sekedar mewujudkan dan merealisasikan perluasan jalan raya, pengaturan kendaraan berat dan truk kontainer, pengalihan jalur atau membangun jalur alternatif, tetapi juga aspek kenyamanan dalam berkendara, sebab sebagaimana kita ketahui salah satu sebab kemacetan adalah kondisi jalan yang buruk dan berlubang, sehingga hal ini dapat menghambat arus kendaraan bermotor.
Infrastruktur perkotaan yang minim dan masih sangat terbatas ikut memberi andil selain manajemen parkir yang semrawut. Jika kita perhatikan penyempitan badan jalan juga disebabkan karena kendaraan yang parkir tidak teratur dan dikelola oleh pengelola parkir partikelir yang sudah pasti tidak memberikan kontribusi apapun pada negara  (daerah). Sementara petugas parkir resmi setali tiga uang, mereka cenderung tidak jujur dan tidak menyerahkan karcis retribusi parkir kepada pengendara, sementara pengendara juga dengan terpaksa menerima kondisi tersebut. Padahal belum tentu pendapatan parkir resmi yang diperoleh disetorkan pada negara (daerah), sebab oknum pemungut jasa parkir kerap bermain mata dengan petugas parkir sehingga banyak dana yang mengalir kekantong-kantong pribadi mereka. Menggaji dan member seragam ternyata bukan solusi efektif, aspek legalitas petugas parkir tidak dibarengi dengan intensitas pengawasan dari dinas terkait.

Jika dalam sehari pengguna kendaraan roda dua mesti parkir di lima tempat parkir resmi berbeda, maka kita sudah bisa mengkalkulasi bahwa uang yang dikeluarkan kurang lebih Rp. 1.000,- x 5 = Rp. 5.000,-. Seandainya dalam sehari ada 2.000 kendaraan roda dua parkir di lima tempat berbeda, maka 2.000 kendaraan x Rp. 5.000,- = Rp. 10.000.000,- dan jika seandainya ditambah dengan kendaraan roda 4 yang parkir di dua tempat berbeda, maka Rp.2.000,- x 2 x 1.000 kendaraan = Rp. 4.000.000,-. Berarti dalam sehari total bea parkir yang mesti dikeluarkan adalah Rp. 14.000.000,-. Jika dikalikan 30 hari maka diperoleh total angka sebesar Rp. 420.000.000,- dan itu berarti dalam setahun diperoleh pendapatan sebesar Rp Rp. 420.000.000,- x 12 bulan = Rp. 5.040.000.000,-.
Problem utama terkait manajemen parkir adalah banyak tempat parkir yang dikuasai dan dikelola oleh oknum atau organisasi yang keberadaannya dilegalkan oleh oknum pejabat publik yang menangani persoalan tersebut. Sebab hal ini terkait dengan konspirasi antara oknum tersebut dan penguasa wilayah yang wajib setor kepadanya dan bukan kepada negara.
Kalau saja dana tersebut dikelola dan diperuntukkan untuk pembenahan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, mungkin warga kota Samarinda dapat sedikit tersenyum, untuk itu mungkin dibutuhkan ketegasan dan komitmen untuk menata kota ini kearah yang lebih baik.
Pada akhirnya, paling tidak sekalipun kita mengalami kemacetan, jalan-jalan dilalui disepanjang kota Samarinda adalah jalan yang mulus dan bebas lobang apalagi lumpur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar