Minggu, 10 Juni 2012

HARI KEMERDEKAAN DAN DEHUMANISASI DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA


Negara Indonesia dibangun atas dasar semangat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, Mukadimmah Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan anti terhadap kolonialisme dan penjajahan. Semangat dan cita-cita luhur tersebutlah yang kemudian menghantarkan bangsa kita untuk meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Penjajahan meninggalkan luka yang teramat dalam di hati sanubari bangsa Indonesia. Penjajahan membuat bangsa kita mengalami diskriminasi diberbagai bidang kehidupan. Di bidang ekonomi jelas bahwa ruang gerak kaum pribumi amat sangat dibatasi. Bangsa Indonesia hanya dijadikan objek sekaligus penonton atas eksploitasi segenap sumber daya alam yang kita miliki. Di bidang politik demikian pula halnya, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul apalagi mendirikan partai politik pada masa itu harus dilakukan ekstra hati-hati bahkan terkesan mustahil karena pemerintah kolonial dengan segenap otoritas yang dimilikinya menganggap bahwa hal tersebut justru merupakan bahaya laten yang patut diwaspadai dan dapat mengancam eksistensi mereka di bumi pertiwi. Di bidang pendidikan kita juga mengalami diskriminasi, dimana tidak semua rakyat di masa penjajahan mendapat akses pendidikan yang memadai kalau mereka bukan keturunan bangsawan atau priyayi. Eksklusifitas Pendidikan pada masa itu mengakibatkan sangat sedikit rakyat Indonesia yang bisa menikmati bangku pendidikan.
Segala bentuk penindasan dan diskiriminasi tersebut kemudian melahirkan para pejuang dari kalangan terpelajar yang merasa terpanggil  atas nasib bangsanya yang dari hari-kehari semakin terperosok kejurang penindasan dan kebodohan. Sejarah juga mencatat, bahwa para pejuang tersebut dengan segenap daya dan kemampuan yang mereka miliki, terus berjuang atas dasar komitmen yang kuat agar bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Banyak dari mereka harus masuk penjara demi perjuangan yang mereka lakukan. Banyak pula yang rela mati demi keyakinan dan kemerdekaan negeri ini. Satu hal yang patut dicamkan dilubuk sanubari bangsa Indonesia adalah bahwa perjuangan yang dilakukan para pendahulu kita bukanlah perjuangan yang sia-sia, karena setiap langkah, tetes darah dan perjuangan yang mereka lakukan, terukir  dalam tinta emas sejarah perjuangan dan pergerakan Indonesia.
Kilas balik sejarah perjuangan dan cita-cita luhur diatas tanpa sadar membuat saya merenung dan bertanya dalam hati, kenapa menjelang 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tidak banyak perubahan yang berarti dan dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia. 
Kontemplasi perenungan itu kemudian menghantarkan saya pada dua pertanyaan besar yaitu :
Apakah para penyelenggara negara sudah kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan ? atau mungkin ada diantara para penyelenggara negara yang belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan ?
Apabila penyelenggara negara yang mendapat mandat dari segenap rakyat kehilangan cita-cita luhur kemerdekaan berarti selama hampir 67 tahun yang kita jalani adalah sebuah ritualitas peringatan hari kemerdekaan dan cita-cita luhur kemerdekaan seperti membebaskan rakyat dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan belum terwujud karena para penyelenggara negara (penguasa) dengan kekuasaan yang mereka miliki justru disibukkan dengan cita-cita mereka sendiri yaitu mempertahankan kekuasaan. Kalau ini terjadi, sampai kapanpun cita-cita tetaplah menjadi sebuah cita-cita. Dan sebuah cita-cita hanya akan terwujud apabila ada kesungguhan dan komitmen untuk membebaskan dan memerdekakan segenap rakyat  dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.
Apabila ada diantara para penyelenggara negara belum memahami atau mengerti makna kemerdekaan, berarti kemerdekaan bagi para penyelenggara negara tersebut merupakan retorika belaka. Bukan mustahil telah terjadi distorsi makna kemerdekaan, kemerdekaan yang secara harafiah berarti terbebas dari belenggu penjajahan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan  serta berorientasi kepada rakyat berubah makna menjadi kemerdekaan sang penguasa untuk membebaskan diri mereka dan keluarga mereka dari kemiskinan, sehingga terjadi penumpukkan kekayaan dari sumber-sumber yang tidak jelas (Korupsi Kolusi Nepotisme), kemerdekaan bagi para penguasa dapat pula berarti terbebas dari belenggu kebodohan, namun ironisnya cara mereka membebaskan diri dari belenggu kebodohan bukanlah dengan cara menempuh pendidikan formal sesuai prosedur yang berlaku, tetapi justru mengambil jalan pintas dengan membeli gelar dan ijazah palsu.Begitulah potret bangsa kita, kita nampaknya harus lebih banyak bercermin, melakukan instrospeksi, apakah kita patut dan merasa bangga sebagai bangsa (Nation).
Kemerdekaan akan sangat bermakna ketika kita terbebas dari belenggu penindasan, apabila dianalogikan, sama halnya ketika kita dahaga, kita tidak akan pernah memahami makna dahaga apabila kita tidak pernah memahami rasa haus.
Menjelang Ulang Tahun yang ke 67 Republik yang kita cinta ini, kemerdekaan harusnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah ritual yang setiap tahun harus diperingati oleh bangsa Indonesia, karena kita telah berhasil merebut dan memperjuangkan kemerdekaan, tetapi lebih dari itu kemerdekaan harus dikembalikan pada cita-citanya semula, dimana sebagai bangsa, kita tidak ingin lagi melihat rakyat mengalami ketertindasan, penggusuran, kebodohan, kemiskinan dan kehilangan kemerdekaan dinegeri sendiri.
Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan, untuk pendidikan misalnya, pemerintah sebagai regulator harusnya dapat melakukan proteksi terhadap dunia pendidikan di Indonesia, apabila pemerintah belum mampu membebaskan biaya pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, minimal pemerintah membuat ambang batas maksimum pungutan biaya pendidikan di luar SPP dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, sehingga tidak ada lagi sekolah atau Perguruan Tinggi yang menentukan tarif atau biaya seenaknya sendiri karena ada peraturan yang membatasi. Selain itu standarisasi biaya pendidikan menghindarkan praktek kolutif antara orang tua dan oknum guru. Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia merupakan momok tersendiri bagi kebanyakan orang tua.  Pendidikan di Indonesia sudah seperti mesin uang, setiap tahun ajaran baru banyak orang tua murid yang kehidupannya pas-pasan berteriak mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan dari semua jenjang pendidikan yang tersedia. Ironis memang, disatu sisi, pemerintah dengan program wajib belajar sembilan tahun berusaha memotivasi orang tua menyekolahkan anaknya minimal sampai jenjang SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) tetapi disisi lain beban biaya pendidikan tetap menjadi beban yang harus ditanggung para orang tua.
Pendidikan di Indonesia dan Industrialisasi yang berlangsung di dalamnya membuat banyak pemerhati dan sebagian praktisi dunia pendidikan prihatin. Harusnya Political Will pemerintah bertumpu pada semangat mulia bahwa pendidikan bukan bisnis ekonomi, sehingga rakyat terlindungi dan memiliki akses yang luas terhadap dunia pendidikan dari berbagai jenjang yang ada.
Kompetensi bisnis menjadi fenomena yang menarik, karena apabila kompetensi bisnis mendominasi dunia pendidikan maka yang terjadi adalah swastanisasi dan pada akhirnya dunia pendidikan terjerumus pada derap langkah industrialisasi. Harus dipahami bahwa prinsip industrialisasi secara umum adalah menerapkan penggunaan rasio dan teknologi dalam berproduksi dalam rangka meningkatkan produktivitas, kualitas, kuantitas dan pengejaran terhadap profit setinggi-tingginya.
Seorang sosiolog legendaris Jerman, Max Weber menegaskan bahwa industrialisasi yang menerapkan prinsip-prinsip rasionalisasi dan teknologisasi di berbagai bidang kehidupan telah menghasilkan fenomena “disenchantment of the world”, yaitu suatu proses memudarnya pesona dunia karena segala hal yang ada di bumi dapat dikalkulasi secara rasional. Akibat yang timbul dari rasionalisasi adalah terjadinya penurunan kualitas kehidupan manusia atau dehumanisasi karena segala hal yang sebelumnya subjektif diubah menjadi objektif, yang kualitatif menjadi kuantitatif.
Konsepsi Weber di atas mengajarkan kepada kita bahwa rasionalisasi mengakibatkan kita kehilangan sikap humanis. Rasionalisasi dunia pendidikan mengkibatkan pemerintah tidak lagi bisa bersikap humanis terhadap dunia pendidikan, banyak anggaran taktis strategis dikurangi dengan alasan efisiensi, pemerintah nampaknya lebih tertarik melaksanakan megaproyek yang menghabiskan anggaran tidak sedikit ketimbang memperhatikan dunia pendidikan kita yang “hidup segan mati tak mau”, anggaran pendidikan dilihat sebagai beban dan melupakan bahwa para pendiri negara ini dulu memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.
Rasionalisasi juga melahirkan alasan bahwa liberalisasi ekonomi dan Anggaran Belanja Negara kita yang selalu difisit dituding ikut memberikan kontribusi terhadap pengurangan anggaran di bidang pendidikan. Padahal sebagaimana kita ketahui kebocoran Anggaran Belanja Negara sebesar 30% diduga diakibatkan karena korupsi. Belum lagi kebocoran akibat in efisiensi diberbagai bidang atau proyek yang dilaksanakan pemerintah. Karena itulah kemudian negara tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya untuk menyantuni dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang, akibatknya dari tahun ketahun dan setiap tahun ajaran baru, para orang tua murid kembali harus berpikir dan berupaya keras untuk bisa menyekolahkan putra-putrinya dan memerdekakan mereka dari belenggu kebodohan. Padahal sebagaimana kita ketahui dan maklumi bersama, dunia pendidikan di Indonesia cenderung  cheerful robots (meminjam istilah sosiolog C. Wright Mills) artinya dunia pendidikan di Indonesia  hanya mampu menciptakan insan akademis yang pintar menjalankan instruksi teknis (berkaitan dengan pertanyaan how) dan bukan berpikir kritis dan reflektif (berurusan dengan pertanyaan why). Hal ini setidaknya membuktikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami dehumanisasi.
Akhirnya dihari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 67 sebagai rakyat saya harus kembali menggantungkan harapan semoga para penyelenggara negara dengan tulus dan sungguh-sungguh mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan memberikan kemerdekaan yang hakiki kepada segenap rakyat Indonesia yang sebagian besar masih harus membebaskan dirinya dari belenggu penindasan, kemiskinan dan kebodohan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar