Sabtu, 30 Juni 2012

Dilema Pendidikan Nasional

Beberapa orang tua di daerah sangat bangga karena anaknya lulus dengan nilai ujian nasional yang cukup membanggakan, bagi mereka nilai ujian nasional bagus sama dengan keberhasilan untuk memutuskan dan memilih sekolah favorit dengan akreditasi A. Harapan setiap orang tua mungkin sama ketika terkait dengan keputusan untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak tercinta. Pola relasi antara orang tua, murid, guru, sistem pendidikan di negeri ini ternyata membuka dimensi baru dan sebuah realitas sosial dimana standarisasi yang begitu di agung-agungkan oleh Kementrian Pendidikan tidak sebangun dengan kondisi daerah, kualitas guru, kualitas anak didik, fasilitas belajar mengajar, diseminasi informasi dan banyak hal lainnya termasuk keterisolasian sebuah wilayah. Prestasi diukur dengan kaca mata kuda, standarisasi diciptakan tanpa mempertimbangkan ketertinggalan daerah di bidang pendidikan itu sendiri. Sekolah di split menjadi sekolah unggul dengan merk "RSBI" dan ada pula sekolah non RSBI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi sekolah dengan merk "RSBI" hal ini menjadi wajar karena pola bilingual yang diterapkan sekolah RSBI tersebut. Di daerah lain terutama Jawa kompetisi antar siswa berlangsung sengit, Nilai Ujian Nasional siswa di jawa membuat kita terbelalak, sebab hampir sebagian besar dari mereka mampu mencapai nilai sempurna. Persaingan yang begitu ketat, fasilitas belajar yang memadai, guru yang mumpuni dalam mengajar dan banyak faktor penunjang lainnya membuat siswa di jawa relatif lebih unggul atau lebih berprestasi dari siswa di daerah, kalaupun ada siswa di daerah yang mampu menggetarkan jagad pendidikan nasional, prosentasenya  relatif kecil, sementara yang lain sibuk berkutat dengan nilai yang masih di bawah standard nasional. Orang tua berharap anaknya diterima disekolah unggulan, sementara para murid menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem yang belum teruji dan terbukti, sebab hasil Ujian Nasional 2012 menunjukkan bahwa peroleh Nilai Ujian Nasional tertinggi justru diperoleh sekolah non RSBI. Sistem pendidikan di negeri ini hanya menjadi alat pemuas nafsu segelintir elit yang merasa yakin bahwa jika sistem tersebut diterapkan pasti akan lebih baik. Biaya sekolah makin mahal dan membuat orang tua meringis dan berusaha mengais duit agar sang anak bersekolah sementara negara sibuk persoalan yang tidak penting, politisinya sibuk memikirkan isi perutnya sendiri. Bangsa ini adalah bangsa yang perlu belajar banyak agar bisa mencapai apa yang pernah dicita-citakan pendiri negera ini dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendek kata negara ini belum mampu memberikan jaminan pemerataan pendidikan (terutama dalam hal kualitas pembelajaran), negara juga gagal memberikan pendidikan murah bahkan kalau perlu gratis bagi rakyatnya. Bagi PNS gaji 13 menjadi obat pelipur lara, karena diberikan tepat tahun ajaran baru, tapi bagi mereka yang non PNS terpaksa harus mencari pinjaman agar sang anak dapat bersekolah. Entah sampai kapan kondisi ini terus berlangsung............????

2 komentar:

  1. Ken Robinson (2010), menyampaikan "Sekolah membunuh kreativitas" saat beliau memberikan kuliah di TED. Hal ini diperkuat oleh adanya sistem hirarki pada mata pelajaran, yaitu Matematika dan bahasa ada diposisi teratas, disusul oleh ilmu alam dan sosial, kemudian di posisi terbawah adalah seni. Hal ini disusun sesuai dengan jumlah jam belajar masing-masing pelajaran dalam seminggu, maka hirarki ini terjadi. Dengan demikian, sekolah baru saja memberi batas pada seni sebagai salah satu bentuk pencapaian atau latihan kreativitas peserta didik. Sekolah saat ini mempersiapkan peserta didik untuk siap agar diterima di perguruan tinggi, bukan sebaliknya yang mana sekolah semestinya mempersiapkan peserta didik apabila mereka tidak berhasil atau tidak bisa masuk ke perguruan tinggi. Dari fakta, banyak orang berhasil tanpa lewat jalur universitas sekalipun, contohnya Bill Gates, Mark, Steve Jobs, Hendry Ford, Elang Gumilang. Hal ini terjadi karena mereka siap.

    BalasHapus
  2. Kegagalan sistem pendidikan kita adalah penekanan pada aspek pendidikan formal, sekolah formal dengan stadarisasi acak adul dianggap sebagai satu-satunya sarana pembelajaran, Ijazah adalah alat legitimasi jenjang pendidikan seseorang, padahal belum tentu dengan sederet gelar orang tersebut memiliki kapasitas sesuai gelarnya, akibatnya lembaga pemberi gelar sekalipun ilegal tumbuh subur di negeri ini. IT mungkin dapat menjadi salah satu jawaban sebab di era sekarang ruang dan waktu menjadi tidak terbatas, orang dapat belajar dari manapun dengan siapapun dan kapanpun. selamat berkreasi dan berpikir cerdas......

    BalasHapus