EKSISTENSI TAMAN NASIONAL KUTAI
Taman Nasional Dan Persepsi Masyarakat
No forest means no future, ungkapan tersebut mengingatkan bahwa hutan
merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Selain sebagai penyedia bahan baku, hutan
berfungsi sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang
tidak tergantikan. Misalnya sebagai
penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis, penyerap dan penjerap polutan, pemelihara
keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim.
Menurut Setiawan (2001) Karena hutan
merupakan national heritage for the
global benefit, Indonesia yang dianugrahi hutan luas dengan keanekaragaman
hayati tinggi memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian fungsi
hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan, tidak saja
bagi rakyat indonesia tetapi juga bagi kepentingan dunia. Dalam hal ini, secara kuantitatif upaya
indonesia telah cukup nyata yakni dengan membangun sistem kawasan konservasi
seluas 22.560.545,46 ha.
Dalam Ensiklopedia Indonesia (1983)
konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi
dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan
konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki
adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya
perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut
menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan. Padahal tujuan konservasi adalah menunjang
pembangunan berkelanjutan.
Menurut IUCN (The International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Taman Nasional
sebagai salah satu kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan pelestarian
alam yang luas, baik di darat maupun di laut, yang didalamnya terdapat satu
atau lebih ekosistem alam yang utuh tidak terganggu, di dalamnya terdapat
jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang
secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan,
budaya, rekreasi dan pariwisata panorama alam yang menonjol, di mana masyarakat
diperbolehkan masuk ke dalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut.
(Ishak, 2003)
Di Indonesia penerapan konsep Taman
Nasional (National Park) mulai marak pada awal tahun 1980-an, menurut
Awang (2003) hal ini tentunya memberikan perubahan terhadap wajah hutan
Indonesia, sebab dengan adanya konsep Taman Nasional, yang dibicarakan tidak
hanya persoalan eksploitasi kayu yang selama ini dikerjakan HPH, tetapi juga persoalan
konservasi pada plasma nutfah, hewan dan sumber daya air serta genetis lainnya
dari hutan tropis alam.
Secara konsepsional Taman Nasional
diharapkan mampu menjaga kelestarian flora, fauna dan ekosistem di dalamnya,
tetapi dalam implementasinya ternyata masyarakat Indonesia masih banyak yang
belum memahami kenapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan Taman
Nasional, bagi masyarakat yang berkepentingan langsung dengan hutan menganggap
bahwa hutan, khususnya Taman Nasional merupakan kawasan terlarang yang
membatasi dan membelenggu masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang
selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun,
berburu dan memungut hasil alam non kayu (hasil hutan ikutan) seperti gaharu,
rotan, damar dan madu. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional
cenderung negatif, karena bagi mereka Taman Nasional hanya mampu memproduksi
berbagai aturan dan larangan terhadap masyarakat sekitar hutan, tetapi tidak
memberikan alternatif atas masalah yang mereka hadapi.
Ditetapkannya suatu kawasan sebagai
Taman Nasional secara tidak langsung mengurangi atau membatasi hak-hak
masyarakat atas hutan. Akibatnya, sering terjadi benturan atau ketidakpuasan
masyarakat atas kebijakan tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa keberadaan
Taman Nasional dianggap mencaplok atau mengambil alih hak-hak masyarakat atas
sumber daya hutan alam yang selama ini secara turun temurun mereka nikmati.
Kemudian penetapan tata batas Taman Nasional juga dianggap sebagai biang keladi atas berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan, tak
jarang persoalan ini menimbulkan protes warga masyarakat, tetapi protes tersebut
nampaknya kurang ditanggapi secara serius oleh pemerintah atau pihak Taman
Nasional. Hal lainnya adalah, penduduk yang sudah lebih dulu berada di dalam
dan sekitar Taman Nasional status sosial ekonomi keluarganya umumnya rendah,
bahkan kebanyakan dari mereka hidup pada tingkat ekonomi yang subsistent.
Kemiskinan yang diderita masyarakat ini, tentunya dapat saja menjadi faktor
pemicu mereka untuk melakukan perlawanan kepada pengelola Taman Nasional.
Apalagi menurut pemahaman mereka kekayaan alam yang terdapat di dalam Taman
Nasional belum dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Yang terakhir
adalah bahwa isu dan agenda konservasi kelihatannya terlalu dipaksakan oleh
pihak Taman Nasional, sementara persoalan sosial budaya kurang mendapat perhatian.
Kebijakan untuk menerima penduduk asli
agar tetap berada di dalam kawasan Taman Nasional atau cagar alam belum menjadi
kebijakan umum, sebab Undang-Undang Konservasi mengatakan bahwa Taman Nasional
harus kosong dari hunian manusia. Hal seperti ini dipandang sangat tidak
realistis karena manusia dianggap bukan bagian ekosistem Taman Nasional.
Kenyataannya adalah bahwa tidak mungkin mengelola Taman Nasional di Indonesia
tanpa mengakui keberadaan penduduk lokal yang sudah tinggal jauh lebih dahulu
di kawasan hutan tersebut.
Sejarah Kawasan Taman Nasional Kutai
Salah satu dari sekian banyak kawasan
Taman Nasional di Indonesia adalah Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) dimana
kawasan tersebut sebelum dideklarasikan sebagai Taman Nasional adalah merupakan
suaka margasatwa Kutai. Ishak (2003) mengatakan bahwa secara umum, manfaat yang
diberikan kawasan konservasi seperti Taman Nasional tak lepas dari spesifikasi
dan tujuan konservasi yang ditetapkan, diantaranya :
1)
Pemeliharaan
dan perlindungan sumber daya lingkungan, jasa dan proses ekologi;
2)
Produksi
sumber daya alam (SDA), seperti kayu dan satwa liar;
3)
Produksi
rekreasi dan jasa wisata;.
4)
Perlindungan
benda-benda dan situs sejarah serta budaya;
5)
Penyediaan
peluang bagi pendidikan dan penelitian
Begitu strategis dan pentingnya
eksistensi Taman Nasional tersebut membuat Pemerintah Kutai Timur berinisiatif
melakukan pemagaran secara fisik terhadap Taman Nasional Kutai. Maksud
pemagaran tersebut adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat, terutama mereka
yang bermukim di sekitar kawasan bahwa secara fisik ada batas antara kawasan
yang dapat dikelola dengan kawasan yang dikonservasi atau dipertahankan sebagai
Taman Nasional. Panjang pagar yang akan dibangun secara keseluruhan adalah 98
km dan tahap awal akan direalisasikan sepanjang 9 km. Pemagaran tersebut
melibatkan 48 perusahaan, terdiri atas 5 perusahaan pertambangan, 13 perusahaan
perkebunan, 30 perusahaan kehutanan dan 1 organisasi kemasyarakatan.
Selain
pemagaran pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga melakukan rehabilitasi hutan
dalam kawasan Taman Nasional Kutai, sementara ini areal rehabilitasi yang
terlaksana baru sepanjang 2
kilometer pada jalur tanam sepanjang 500 meter, jarak jalur tanam 10 meter dan
jarak tanam dalam jalur lima meter. Tanaman rehabilitasi terdiri dari
jenis-jenis dipterokarpa dan buah-buahan berkayu.
Secara historis, kawasan yang sekarang
dikenal sebagai kawasan Taman Nasional Kutai pada zaman Kolonial Belanda,
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) No. 3843/AZ/1934 di
beri status sebagai hutan persediaan dan memiliki luas 2.000.000 ha. Dua tahun
kemudian yaitu pada tahun 1936 Pemerintah Kerajaan Kutai (salah satu kerajaan
di Kalimantan) menetapkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa Kutai
dengan SK (ZB) No. 80/22-ZB/1936, berdasarkan SK tersebut kawasan yang tadinya
memiliki luas 2.000.000 ha menjadi berkurang 1.694.000 ha dan ditetapkan
menjadi hanya seluas 306.000 ha. Berdasarkan SK tersebut, tidak dijelaskan
secara rinci kenapa Pemerintah Kerajaan Kutai mengeluarkan kebijakan tersebut
dan areal seluas 1.694.000 ha tidak diketahui secara pasti peruntukkannya.
Di zaman kemerdekaan Republik
Indonesia kawasan tersebut tetap berstatus sebagai suaka margasatwa dan
dikembali dikukuhkan oleh Mentri Pertanian sebagai Suaka Margasatwa Kutai pada
tanggal 14 Juni 1957 dengan Surat Keputusan (SK) Mentri Pertanian
No.110/UN/1957. Namun kondisi tersebut ternyata tidak bertahan lama karena luas
kawasan yang tadinya 306.000 ha kembali berkurang dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Menteri Pertanian No.230/Kpts/Um/6/1971 pada tanggal 23 Juli 1971, SK
tersebut mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa Kutai yaitu seluas 106.000 ha
dan digunakan untuk kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Kayu Mas sementara sisanya untuk
perluasan kawasan industri Pupuk dan gas alam di Bontang.
Pada tahun 1982 Pemerintah Republik Indonesia
melalui Menteri Pertanian kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK)
No.736/Mentan/X/1982 tentang pendeklarasian
Suaka Margasatwa Kutai sebagai Taman Nasional bersama 11 Taman Nasional
yang lain di Indonesia pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali, adapun
luas areal kawasan tersebut ditetapkan seluas 200.000 ha.
Kemudian Pada tahun 1991 Menteri Kehutanan
melalui Surat Keputusan No. 435/Kpts-XX/1991 Tanggal 22 Juli 1991 kembali
melepas sebagian kawasan Taman Nasional c/q Suaka Margasatwa Kutai di wilayah Kabupaten Daerah tingkat II Kutai, Propinsi Daerah tingkat I Kalimantan Timur
seluas 1.371 ha untuk perluasan Kota administratif Bontang dan PT. Pupuk
Kalimantan Timur, dengan demikian luas Suaka Margasatwa Kutai yang tadinya
200.000 ha semakin berkurang dan ditetapkan hanya seluas 198.629 ha.
Pada
tahun 1995 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 Tanggal 29 Juni
1995 Suaka Margasatwa Kutai yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai,
Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur seluas 198.629 ha berubah fungsi dan ditunjuk menjadi Taman Nasional
dengan nama Taman Nasional Kutai.
Kawasan
Taman Nasional Kutai Pada tahun 1997 kembali mengalami Perubahan fungsi
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 997/Menhut-VII/1997 tanggal 21 Juli 1997 dimana SK tersebut
menetapkan sebagian kawasan Suaka Margasatwa Kutai seluas ±25 ha di Kabupaten
Daerah Tingkat II Kutai, Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur, menjadi
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
dan itu berarti luas Kawasan Taman Nasional Kutai kembali berkurang
menjadi 198.604 ha.
Tidak
lama berselang sejalan dengan ditetapkan SK tersebut, Menteri Kehutanan kembali
mengeluarkan SK No. 997/Menhut-VII/1997 tanggal 2 September 1997 yang berisi
tentang Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan seluas ± 25 ha untuk
pembangunan perumahan lok Tuan dalam rangka perluasan Kota Administratratif
Bontang di Propinsi Dati I Kalimantan Timur.
Terakhir ditengah semangat daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah pejabat Bupati Kutai Timur (Kabupaten pemekaran)
pada tahun 1999 mengusulkan pelepasan Kawasan Taman Nasional seluas 15.000 ha
untuk pemukiman Namun. Belum lagi usulan tersebut disetujui, pada tahun 2002,
saat kawasan tersebut sedang dalam proses tata batas enclave. Usulan luas enclave bertambah menjadi ± 24.000 ha. Tetapi fakta dilapangan menunjukkan bahwa
Taman Nasional Kutai telah dirambah dan luasnya berkurang menjadi 23.712 ha,
dengan demikian belum lagi tata batas enclave disepakati, masyarakat
telah melakukan kegiatan pemukiman dan perambahan di kawasan tersebut, sehingga
saat ini luas kawasan Taman Nasional Kutai menjadi 174.892 ha.
Belum ada kejelasan tentang tata batas
enclave dan luasan areal yang dirambah masyarakat, apalagi semenjak terjadi
pergantian kepemimpinan daerah di Kabupaten Kutai Timur, pejabat Bupati yang
baru nampaknya belum mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan
persoalan tersebut. Kondisi ini tentunya menyulitkan pihak Taman Nasional Kutai
dan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur serta
membuat kondisi kawasan konservasi tersebut semakin kritis terhadap
kegiatan perambahan yang dilakukan berbagai pihak.
Berikut disajikan tabel kronologis
pengurangan luas Taman Nasional Kutai Dari Tahun 1934-2001 :
Tabel 1 : Kronologis
Pengurangan Luas Taman Nasional Kutai Dari Tahun
1934-2001
No
|
Tahun |
Dasar Hukum |
Luas
(ha)
|
|
Ditetapkan
|
Berkurang
|
|||
1
|
1934
|
Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda
(GB) No. 3843/AZ/1934
|
2.000.000
|
-
|
2
|
1936
|
Surat Keputusan (SK) Kerajaan Kutai (ZB)
No. 80/22-ZB/1936
|
306.000
|
1.694.000
|
3
|
1957
|
Surat Keputusan (SK)
Mentri Pertanian RI No. 110/UN/1957
|
306.000
|
-
|
4
|
1971
|
Surat Keputusan (SK)
Mentri Pertanian No. 230/ Kpts/Um/6/1971
|
200.000
|
106.000
|
5
|
1982
|
Surat Keputusan (SK)
Mentri Pertanian No. 736/ Mentan/X/1982
|
200.000
|
-
|
6.
|
1991
|
Surat Keputusan (SK)
No.435/Kpts-XX/1991
|
198.629
|
1.371
|
7.
|
1995
|
Surat Keputusan (SK) Mentri
Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995
|
198.604
|
25
|
8.
|
1997
|
Surat Keputusan (SK)
Mentri Kehutanan Nomor 997/Menhut VII/1997
|
198.604
|
-
|
9.
|
1999
|
Tahun 1999, Pejabat
Bupati Kutai Timur mengusulkan pelepasan 15.000 ha untuk pemukiman
|
198.604
|
-
|
10.
|
2001
|
Usulan Enclave belum
disetujui tetapi TNK telah dirambah
|
174.892
|
23.712
|
Sumber data : Surat-Surat Keputusan dan PHPA,
1991
Luas dan Letak
Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Kutai
membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar
sebagai batas bagian Timur menuju arah daratan bagian barat sepanjang kurang
dari 65 km.
Kawasan ini juga dibatasi oleh Sungai Sangatta dan HPH PT. Porodisa di
sebelah Utara dan di sebelah Selatan Hutan Lindung Bontang, PT. Indominco, PT.
Kitadin dan HPH PT. Surya Hutani Jaya, sedangkan di sebelah
Barat dibatasi oleh HPH PT. Kiani Lestari.
Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional
Kutai (TNK) dengan luas 198.629 teletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%),
Kabupaten Kutai Kertanegara (± 17,48%) dan Kota Bontang (± 2,52%). Sedangkan
secara geografis berada di 0º7’54”- 0º 33’53” LU dan 116 º58’48” - 117 º35’29”
BT.
Identifikasi Kawasan Enclave
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, salah satu sebab berkurangnya areal kawasan
konservasi Taman Nasional Kutai adalah adanya kebijakan enclave atau
pengakuan terhadap keberadaan masyarakat di kawasan hutan. Identifikasi enclave
di kawasan Taman Nasional Kutai mencakup empat desa definitif. Setelah
dilakukan penataan batas, keempat desa tersebut ditangani dan diubah status
kawasannya. Dalam melaksanakan tata batas enclave dilakukan pendekatan
partisipatif terhadap masyarakat di desa-desa yang bersangkutan.
Sebagaimana
telah di jelaskan di atas, tata batas enclave sejauh ini belum final dan
belum memiliki kekuatan hukum tetap. Kondisi ini di satu sisi mengakibatkan
perambahan di kawasan konservasi Taman Nasional semakin meningkat, di sisi lain
aparat terutama petugas Balai Taman Nasional Kutai tidak dapat berbuat banyak,
karena kebijakan enclave sendiri merupakan keputusan politik Bupati
Kutai Timur saat itu yang menginginkan agar warga di jalan poros
Bontang-Sangatta memiliki lahan bagi pemukiman dan perladangan serta mengelola
lahan tersebut secara legal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Alasan
lainnya adalah bahwa sebagai daerah pemekaran Kabupaten Kutai Timur membutuhkan
areal yang luas bagi pengembangan wilayah. Untuk mengetahui bagaimana proses
terjadinya enclave di kawasan Taman Nasional Kutai berikut disajikan tabel
tentang kronologi enclave.
Potensi Kawasan (flora, fauna dan wisata)
Sebagai kawasan Taman Nasional, sudah
barang tentu kawasan Taman Nasional Kutai memiliki kekayaan flora dan fauna.
Kekayaan flora di TNK meliputi meranti (Shorea
sp.), kayu kamper Borneo (Dryobalanops
aromatica), keruing (Dipterocarpus
cornutus), ulin (Eusideroxylon
zwageri), kapur (Dryobalanops sp.),
merbau (Instia palembanica),
bakau-bakau (Rhizopora spp.) dan lain
– lain.
Tipe-tipe ekosistem yang terdapat di
TNK antara lain : 1) Hutan Dipterocarpaceae
Campuran, terdapat sebagian besar dibagian timur kawasan. Pada kawasan bekas
kebakaran telah muncul Macaranga dan perdu; 2) Hutan Ulin-Meranti-Kapur,
terdapat di bagian barat TNK yang drainase tanahnya kurang baik sampai sedang
dan mencakup hampir 50 % dari luas TNK; 3) Vegetasi hutan mangrove dan
tumbuhan pantai, terdapat di sepanjang pantai Selat Makasar; 4) Vegetasi hutan
rawa air tawar, tersebar pada daerah kantong-kantong sepanjang sungai dan mengandung endapan lumpur yang dibawa
banjir; 5) Vegetasi hutan kerangas,
terdapat di sebelah barat Teluk Kaba; 6) Vegetasi hutan tergenang apabila
banjir, terdapat pada daerah di sepanjang sungai dengan drainase tanahnya
kurang baik sampai sedang.
Adapun jenis fauna yang ditemukan di
TNK antara lain orangutan (Pongo pygmaeus),
bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa
(Hylobates muelleri ), lutung merah (Presbytis rubicunda), lutung abu-abu (Presbytis hosei), lutung dahi putih (Presbytis frontata), lutung biasa (Presbytis cristata), kukang (Nycticebus coucang), beruk (Macaca nemestrina), singapuar (Tarsius bancanus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), dan lain-lain.
Tabel 2 : Daftar Obyek Wisata Dan Jasa Lingkungan di TNK
No
|
Lokasi
|
Obyek Wisata
|
1
|
Teluk Kaba
|
Trail wisata/board walk
di hutan bakau
Pengamatan burung
|
2
|
Sangkima
|
Trail wisata/board walk
di hutan dataran rendah
Ulin raksasa
Rumah pohon
|
3
|
Teluk Lombok
|
Pantai pasir putih
|
4
|
Prevab - Mentoko
|
Pondok penelitian
orangutan
Trail wisata/board walk
dan pusat pendidikan lingkungan hidup
|
Sumber Data : Statistik BTNK 2001
Selain kaya dengan potensi flora dan
fauna, kawasan Taman Nasional Kutai juga memiliki beberapa obyek wisata. Adapun
obyek wisata dan jasa lingkungan yang dapat dinikmati di TNK adalah sebagaimana
disajikan pada Tabel di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar