Akibat Banjir Warga Samarinda Mengalami Kerugian Milyaran Rupiah
SAMARINDA – Samarinda adalah daerah dataran rendah yang posisinya cukup strategis untuk kawasan pemukiman, namun demikian sejalan dengan perkembangan dan pembangunan Kota, Bencana ekologis di Samarinda
seperti banjir dan longsor kerap terjadi, dan hal ini disebabkan paling sedikit 3 faktor yaitu buruknya drainase dan kebiasaan warga kota membuang sampah ke parit atau sungai, kurangnya daerah resapan akibat pembangunan kawasan pemukiman dan komplek pertokoan serta aktivitas pertambangan
batu bara baik legal maupun ilegal di Kota Tepian.
Akibatnya hampir 700 ribu warga Samarinda ikut dirugikan. Daya
dukung lahan untuk menjaga keselamatan lingkungan juga sudah tak memadai
karena ruang terbuka hijau (RTH) hanya 30 persen. Angka ini benar-benar kurang memadai mengingat kota samarinda kedepan idealnya memiliki paling sedikit 40 sampai dengan 45 % ruang terbuka hijau..
Banjir di Samarinda setiap tahun naik baik dari volume maupun
itensitas terjadinya. “Titik banjir semakin bertambah dan kontribusi
sektor pertambangan terutama batu bara memberi kontribusi sangat besasr terhadap bencana
banjir yang terjadi di Samarinda hingga 80 persen, diprediksi sepertiga dari 700 ribu jiwa
penduduk Samarinda atau sekitar 200 ribu jiwa, telah merasakan dampak
aktivitas tambang terutama banjir yang rutin merendam Samarinda. Jika diasumsikan setiap orang dari 200 ribu
jiwa itu mengalami kerugian langsung atau tidak langsung sebesar Rp100 ribu
setiap kali banjir datang, maka total kerugian tiap banjir datang adalah
Rp20 miliar. Ini belum termasuk dana yang dianggarkan oleh Pemkot
setiap tahun untuk menanggulangi banjir.
Angka di atas bisa saja lebih besar dari asumsi namun secara substantif persoalan banjir bukanlah semata-mata persoalan kerugian secara material, tetapi terkait pula dengan sejauh mana penanganan dan komitmen pemerintah terhadap RTRW, masalah sampah dan pembenahan serta perbaikan drainase. Dengan demikian secara sosiologis jelas bahwa mesti ada pola interaksi yang jelas dan berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha terkait persoalan tersebut.
Angka di atas bisa saja lebih besar dari asumsi namun secara substantif persoalan banjir bukanlah semata-mata persoalan kerugian secara material, tetapi terkait pula dengan sejauh mana penanganan dan komitmen pemerintah terhadap RTRW, masalah sampah dan pembenahan serta perbaikan drainase. Dengan demikian secara sosiologis jelas bahwa mesti ada pola interaksi yang jelas dan berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha terkait persoalan tersebut.
Kontribusi yang
diterima dari sektor pertambangan tidak terlampau besar yaitu hanya berkisar Rp40 miliar dari Rp2 triliun di
pos pendapatan APBD Samarinda. Sementara mereka yang bekerja di sektor tambang diperkirakan
hanya 5-6 ribu orang jika dibandingkan 700 ribu jiwa penduduk Samarinda
yang merasakan dampak negatifnya. Menutup tambang bermasalah hanyalah salah satu solusi akan tetapi langkah tersebut perlu didukung pula dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Program Jumat bersih yang dicanangkan pemerintah Kota Samarinda lebih digalakkan dan jika perlu kawasan atau kampung diberikan reward agar mereka merasa memiliki kota yang mereka cintai ini.
Selain upaya tadi reklamasi juga harus dilakukan untuk mengurangi dampak akibat banjir dan yang lebih penting apa yang dulu pernah dijanjikan Bapak Syaharie Jaang pada saat beliau mencalonkan diri sebagai Walikota Samarinda diwujudkan terutama 9 langkah penanggulangan banjir termasuk merealisasikan pintu kanal untuk pengendalian banjir dan memaksimalkan waduk benanga sebagai penampung debit air jika curah hujan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar