Sabtu, 09 Juni 2012

EKSISTENSI TAMAN NASIONAL KUTAI


EKSISTENSI TAMAN NASIONAL KUTAI



Taman Nasional Dan Persepsi Masyarakat

No forest means no future,  ungkapan tersebut mengingatkan bahwa hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.  Selain sebagai penyedia bahan baku, hutan berfungsi sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang tidak tergantikan.  Misalnya sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis,  penyerap dan penjerap polutan, pemelihara keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim.
Menurut Setiawan (2001) Karena hutan merupakan national heritage for the global benefit, Indonesia yang dianugrahi hutan luas dengan keanekaragaman hayati tinggi memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian fungsi hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan, tidak saja bagi rakyat indonesia tetapi juga bagi kepentingan dunia.  Dalam hal ini, secara kuantitatif upaya indonesia telah cukup nyata yakni dengan membangun sistem kawasan konservasi seluas 22.560.545,46 ha.
Dalam Ensiklopedia Indonesia (1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan.  Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan.
Menurut IUCN (The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang luas, baik di darat maupun di laut, yang didalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang utuh tidak terganggu, di dalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata panorama alam yang menonjol, di mana masyarakat diperbolehkan masuk ke dalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. (Ishak, 2003)
Di Indonesia penerapan konsep Taman Nasional (National Park) mulai marak pada awal tahun 1980-an, menurut Awang (2003) hal ini tentunya memberikan perubahan terhadap wajah hutan Indonesia, sebab dengan adanya konsep Taman Nasional, yang dibicarakan tidak hanya persoalan eksploitasi kayu yang selama ini dikerjakan HPH, tetapi juga persoalan konservasi pada plasma nutfah, hewan dan sumber daya air serta genetis lainnya dari hutan tropis alam.
Secara konsepsional Taman Nasional diharapkan mampu menjaga kelestarian flora, fauna dan ekosistem di dalamnya, tetapi dalam implementasinya ternyata masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami kenapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, bagi masyarakat yang berkepentingan langsung dengan hutan menganggap bahwa hutan, khususnya Taman Nasional merupakan kawasan terlarang yang membatasi dan membelenggu masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun, berburu dan memungut hasil alam non kayu (hasil hutan ikutan) seperti gaharu, rotan, damar dan madu. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional cenderung negatif, karena bagi mereka Taman Nasional hanya mampu memproduksi berbagai aturan dan larangan terhadap masyarakat sekitar hutan, tetapi tidak memberikan alternatif atas masalah yang mereka hadapi.
Ditetapkannya suatu kawasan sebagai Taman Nasional secara tidak langsung mengurangi atau membatasi hak-hak masyarakat atas hutan. Akibatnya, sering terjadi benturan atau ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa keberadaan Taman Nasional dianggap mencaplok atau mengambil alih hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan alam yang selama ini secara turun temurun mereka nikmati. Kemudian penetapan tata batas Taman Nasional juga dianggap sebagai biang keladi  atas berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan, tak jarang persoalan ini menimbulkan protes warga masyarakat, tetapi protes tersebut nampaknya kurang ditanggapi secara serius oleh pemerintah atau pihak Taman Nasional. Hal lainnya adalah, penduduk yang sudah lebih dulu berada di dalam dan sekitar Taman Nasional status sosial ekonomi keluarganya umumnya rendah, bahkan kebanyakan dari mereka hidup pada tingkat ekonomi yang subsistent. Kemiskinan yang diderita masyarakat ini, tentunya dapat saja menjadi faktor pemicu mereka untuk melakukan perlawanan kepada pengelola Taman Nasional. Apalagi menurut pemahaman mereka kekayaan alam yang terdapat di dalam Taman Nasional belum dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Yang terakhir adalah bahwa isu dan agenda konservasi kelihatannya terlalu dipaksakan oleh pihak Taman Nasional, sementara persoalan sosial budaya kurang mendapat perhatian.
Kebijakan untuk menerima penduduk asli agar tetap berada di dalam kawasan Taman Nasional atau cagar alam belum menjadi kebijakan umum, sebab Undang-Undang Konservasi mengatakan bahwa Taman Nasional harus kosong dari hunian manusia. Hal seperti ini dipandang sangat tidak realistis karena manusia dianggap bukan bagian ekosistem Taman Nasional. Kenyataannya adalah bahwa tidak mungkin mengelola Taman Nasional di Indonesia tanpa mengakui keberadaan penduduk lokal yang sudah tinggal jauh lebih dahulu di kawasan hutan tersebut.

Sejarah Kawasan Taman Nasional Kutai

Salah satu dari sekian banyak kawasan Taman Nasional di Indonesia adalah Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) dimana kawasan tersebut sebelum dideklarasikan sebagai Taman Nasional adalah merupakan suaka margasatwa Kutai. Ishak (2003) mengatakan bahwa secara umum, manfaat yang diberikan kawasan konservasi seperti Taman Nasional tak lepas dari spesifikasi dan tujuan konservasi yang ditetapkan, diantaranya  :        
1)      Pemeliharaan dan perlindungan sumber daya lingkungan, jasa dan proses ekologi;
2)      Produksi sumber daya alam (SDA), seperti kayu dan satwa liar;
3)      Produksi rekreasi dan jasa wisata;.
4)      Perlindungan benda-benda dan situs sejarah serta budaya;
5)      Penyediaan peluang bagi pendidikan dan penelitian
Begitu strategis dan pentingnya eksistensi Taman Nasional tersebut membuat Pemerintah Kutai Timur berinisiatif melakukan pemagaran secara fisik terhadap Taman Nasional Kutai. Maksud pemagaran tersebut adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat, terutama mereka yang bermukim di sekitar kawasan bahwa secara fisik ada batas antara kawasan yang dapat dikelola dengan kawasan yang dikonservasi atau dipertahankan sebagai Taman Nasional. Panjang pagar yang akan dibangun secara keseluruhan adalah 98 km dan tahap awal akan direalisasikan sepanjang 9 km. Pemagaran tersebut melibatkan 48 perusahaan, terdiri atas 5 perusahaan pertambangan, 13 perusahaan perkebunan, 30 perusahaan kehutanan dan 1 organisasi kemasyarakatan.
Selain pemagaran pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga melakukan rehabilitasi hutan dalam kawasan Taman Nasional Kutai, sementara ini areal rehabilitasi yang terlaksana baru sepanjang              2 kilometer pada jalur tanam sepanjang 500 meter, jarak jalur tanam 10 meter dan jarak tanam dalam jalur lima meter. Tanaman rehabilitasi terdiri dari jenis-jenis dipterokarpa dan buah-buahan berkayu.
Secara historis, kawasan yang sekarang dikenal sebagai kawasan Taman Nasional Kutai pada zaman Kolonial Belanda, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) No. 3843/AZ/1934 di beri status sebagai hutan persediaan dan memiliki luas 2.000.000 ha. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1936 Pemerintah Kerajaan Kutai (salah satu kerajaan di Kalimantan) menetapkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan SK (ZB) No. 80/22-ZB/1936, berdasarkan SK tersebut kawasan yang tadinya memiliki luas 2.000.000 ha menjadi berkurang 1.694.000 ha dan ditetapkan menjadi hanya seluas 306.000 ha. Berdasarkan SK tersebut, tidak dijelaskan secara rinci kenapa Pemerintah Kerajaan Kutai mengeluarkan kebijakan tersebut dan areal seluas 1.694.000 ha tidak diketahui secara pasti peruntukkannya.
Di zaman kemerdekaan Republik Indonesia kawasan tersebut tetap berstatus sebagai suaka margasatwa dan dikembali dikukuhkan oleh Mentri Pertanian sebagai Suaka Margasatwa Kutai pada tanggal 14 Juni 1957 dengan Surat Keputusan (SK) Mentri Pertanian No.110/UN/1957. Namun kondisi tersebut ternyata tidak bertahan lama karena luas kawasan yang tadinya 306.000 ha kembali berkurang dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No.230/Kpts/Um/6/1971 pada tanggal 23 Juli 1971, SK tersebut mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa Kutai yaitu seluas 106.000 ha dan digunakan untuk kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH)  PT. Kayu Mas sementara sisanya untuk perluasan kawasan industri Pupuk dan gas alam di Bontang.
Pada tahun 1982 Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertanian kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK) No.736/Mentan/X/1982 tentang pendeklarasian  Suaka Margasatwa Kutai sebagai Taman Nasional bersama 11 Taman Nasional yang lain di Indonesia pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali, adapun luas areal kawasan tersebut ditetapkan seluas 200.000 ha.
Kemudian Pada tahun 1991 Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 435/Kpts-XX/1991 Tanggal 22 Juli 1991 kembali melepas sebagian kawasan Taman Nasional c/q Suaka Margasatwa Kutai  di wilayah Kabupaten Daerah tingkat II Kutai,  Propinsi Daerah tingkat I Kalimantan Timur seluas 1.371 ha untuk perluasan Kota administratif Bontang dan PT. Pupuk Kalimantan Timur, dengan demikian luas Suaka Margasatwa Kutai yang tadinya 200.000 ha semakin berkurang dan ditetapkan hanya seluas 198.629 ha.
Pada tahun 1995 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 Tanggal 29 Juni 1995 Suaka Margasatwa Kutai yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur seluas 198.629 ha  berubah fungsi dan ditunjuk menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kutai.
Kawasan Taman Nasional Kutai Pada tahun 1997 kembali mengalami Perubahan fungsi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan   No. 997/Menhut-VII/1997 tanggal 21 Juli 1997 dimana SK tersebut menetapkan sebagian kawasan Suaka Margasatwa Kutai seluas ±25 ha di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur, menjadi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi  dan itu berarti luas Kawasan Taman Nasional Kutai kembali berkurang menjadi 198.604 ha.
Tidak lama berselang sejalan dengan ditetapkan SK tersebut, Menteri Kehutanan kembali mengeluarkan SK No. 997/Menhut-VII/1997 tanggal 2 September 1997 yang berisi tentang Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan seluas ± 25 ha untuk pembangunan perumahan lok Tuan dalam rangka perluasan Kota Administratratif Bontang di Propinsi Dati I Kalimantan Timur.
Terakhir ditengah semangat daerah untuk melaksanakan otonomi daerah pejabat Bupati Kutai Timur (Kabupaten pemekaran) pada tahun 1999 mengusulkan pelepasan Kawasan Taman Nasional seluas 15.000 ha untuk pemukiman Namun. Belum lagi usulan tersebut disetujui, pada tahun 2002, saat kawasan tersebut sedang dalam proses tata batas enclave. Usulan luas enclave  bertambah menjadi ± 24.000 ha.  Tetapi fakta dilapangan menunjukkan bahwa Taman Nasional Kutai telah dirambah dan luasnya berkurang menjadi 23.712 ha, dengan demikian belum lagi tata batas enclave disepakati, masyarakat telah melakukan kegiatan pemukiman dan perambahan di kawasan tersebut, sehingga saat ini luas kawasan Taman Nasional Kutai menjadi 174.892 ha.
Belum ada kejelasan tentang tata batas enclave dan luasan areal yang dirambah masyarakat, apalagi semenjak terjadi pergantian kepemimpinan daerah di Kabupaten Kutai Timur, pejabat Bupati yang baru nampaknya belum mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kondisi ini tentunya menyulitkan pihak Taman Nasional Kutai dan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur serta  membuat kondisi kawasan konservasi tersebut semakin kritis terhadap kegiatan perambahan yang dilakukan berbagai pihak.
Berikut disajikan tabel kronologis pengurangan luas Taman Nasional Kutai Dari Tahun 1934-2001 :

Tabel 1 : Kronologis Pengurangan Luas Taman Nasional Kutai Dari Tahun 1934-2001

No

Tahun

Dasar Hukum

Luas (ha)
Ditetapkan
Berkurang
1
1934
Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) No. 3843/AZ/1934
2.000.000
-
2
1936
Surat Keputusan (SK) Kerajaan Kutai (ZB) No. 80/22-ZB/1936
306.000
1.694.000
3
1957
Surat Keputusan (SK) Mentri Pertanian RI No. 110/UN/1957
306.000
-
4
1971
Surat Keputusan (SK) Mentri Pertanian No. 230/ Kpts/Um/6/1971
200.000
106.000
5
1982
Surat Keputusan (SK) Mentri Pertanian No. 736/ Mentan/X/1982
200.000
-
6.
1991
Surat Keputusan (SK) No.435/Kpts-XX/1991
198.629
1.371
7.
1995
Surat Keputusan (SK) Mentri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995
198.604
25
8.
1997
Surat Keputusan (SK) Mentri Kehutanan Nomor 997/Menhut VII/1997
198.604
-
9.
1999
Tahun 1999, Pejabat Bupati Kutai Timur mengusulkan pelepasan 15.000 ha untuk pemukiman
198.604
-
10.
2001
Usulan Enclave belum disetujui tetapi TNK telah dirambah
174.892
23.712
Sumber data : Surat-Surat Keputusan dan PHPA, 1991

Luas dan Letak

Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Kutai membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar sebagai batas bagian Timur menuju arah daratan bagian barat sepanjang kurang dari 65 km. 
Kawasan ini juga dibatasi oleh Sungai Sangatta dan HPH PT. Porodisa di sebelah Utara dan di sebelah Selatan Hutan Lindung Bontang, PT. Indominco, PT. Kitadin  dan HPH  PT. Surya Hutani Jaya, sedangkan di sebelah Barat dibatasi oleh HPH PT. Kiani Lestari.
Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional Kutai (TNK) dengan luas 198.629 teletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kertanegara (± 17,48%) dan Kota Bontang (± 2,52%). Sedangkan secara geografis berada di 0º7’54”- 0º 33’53” LU dan 116 º58’48” - 117 º35’29” BT.


Identifikasi Kawasan Enclave
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu sebab berkurangnya areal kawasan konservasi Taman Nasional Kutai adalah adanya kebijakan enclave atau pengakuan terhadap keberadaan masyarakat di kawasan hutan. Identifikasi enclave di kawasan Taman Nasional Kutai mencakup empat desa definitif. Setelah dilakukan penataan batas, keempat desa tersebut ditangani dan diubah status kawasannya. Dalam melaksanakan tata batas enclave dilakukan pendekatan partisipatif terhadap masyarakat di desa-desa yang bersangkutan.
Sebagaimana telah di jelaskan di atas, tata batas enclave sejauh ini belum final dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Kondisi ini di satu sisi mengakibatkan perambahan di kawasan konservasi Taman Nasional semakin meningkat, di sisi lain aparat terutama petugas Balai Taman Nasional Kutai tidak dapat berbuat banyak, karena kebijakan enclave sendiri merupakan keputusan politik Bupati Kutai Timur saat itu yang menginginkan agar warga di jalan poros Bontang-Sangatta memiliki lahan bagi pemukiman dan perladangan serta mengelola lahan tersebut secara legal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Alasan lainnya adalah bahwa sebagai daerah pemekaran Kabupaten Kutai Timur membutuhkan areal yang luas bagi pengembangan wilayah. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya enclave di kawasan Taman Nasional Kutai berikut disajikan tabel tentang kronologi enclave.

Potensi Kawasan (flora, fauna dan wisata)

Sebagai kawasan Taman Nasional, sudah barang tentu kawasan Taman Nasional Kutai memiliki kekayaan flora dan fauna. Kekayaan flora di TNK meliputi meranti (Shorea sp.), kayu kamper Borneo (Dryobalanops aromatica), keruing (Dipterocarpus cornutus), ulin (Eusideroxylon zwageri), kapur (Dryobalanops sp.), merbau (Instia palembanica), bakau-bakau (Rhizopora spp.) dan lain – lain.
Tipe-tipe ekosistem yang terdapat di TNK antara lain :   1) Hutan Dipterocarpaceae Campuran, terdapat sebagian besar dibagian timur kawasan. Pada kawasan bekas kebakaran telah muncul Macaranga dan perdu; 2) Hutan Ulin-Meranti-Kapur, terdapat di bagian barat TNK yang drainase tanahnya kurang baik sampai sedang dan mencakup hampir 50 % dari luas TNK; 3) Vegetasi hutan mangrove dan tumbuhan pantai, terdapat di sepanjang pantai Selat Makasar; 4) Vegetasi hutan rawa air tawar, tersebar pada daerah kantong-kantong sepanjang sungai  dan mengandung endapan lumpur yang dibawa banjir;  5) Vegetasi hutan kerangas, terdapat di sebelah barat Teluk Kaba; 6) Vegetasi hutan tergenang apabila banjir, terdapat pada daerah di sepanjang sungai dengan drainase tanahnya kurang baik sampai sedang. 
Adapun jenis fauna yang ditemukan di TNK antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri ), lutung merah (Presbytis rubicunda), lutung abu-abu (Presbytis hosei), lutung dahi putih (Presbytis frontata), lutung biasa (Presbytis cristata), kukang (Nycticebus coucang), beruk (Macaca nemestrina), singapuar (Tarsius bancanus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), dan lain-lain.

Tabel 2 : Daftar Obyek Wisata Dan Jasa Lingkungan di TNK

No
Lokasi
Obyek Wisata
1
Teluk Kaba
Trail wisata/board walk di hutan bakau
Pengamatan burung
2
Sangkima
Trail wisata/board walk di hutan dataran rendah
Ulin raksasa
Rumah pohon
3
Teluk Lombok
Pantai pasir putih
4
Prevab - Mentoko
Pondok penelitian orangutan
Trail wisata/board walk dan pusat pendidikan lingkungan hidup
   Sumber Data : Statistik BTNK 2001

Selain kaya dengan potensi flora dan fauna, kawasan Taman Nasional Kutai juga memiliki beberapa obyek wisata. Adapun obyek wisata dan jasa lingkungan yang dapat dinikmati di TNK adalah sebagaimana disajikan pada Tabel di atas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar